KABARCIREBON - Belakangan telah menyebar dan berkembang diskusi-diskusi mengkaji Muktamar Luar Biasa atau MLB dari sudut pandang tradisi intelektual pesantren. Ciri khas intelektual pesantren, sebagaimana dikatakan Zamakhsyari Dofier (2011), mengusung tradisionalisme. Zamakhsyari juga menyebutkan, peran kiai sangat besar dalam mengembangkan ideologi Islam tradisional.
Membaca gagasan MLB dari sudut pandang pesantren berarti menemukan bagaimana ideologi Islam tradisional menjawabnya. MLB dapat disamakan dengan konsep Kha’ul Imam (خلع الإمام) atau Pemakzulan Pemimpin dalam kitab-kitab kuning. Dengan menyelenggarakan MLB berarti ada individu-individu pemimpin yang harus melepaskan jabatannya baik suka rela maupun terpasak.
Jika MLB berarti mengganti pemimpin lama dengan pemimpin baru melalui mekanisme pemilihan maka gagasan MLB tidak asing di kalangan santri dan komunitas pesantren. Berarti maksud dari MLB sama dengan konsep Khal’ul Imam, yang sudah banyak diperbincangkan sejak lama. Jika pemimpin itu berbuat adil dan taat agama maka wajib ditaati. Jika menyimpang dari tanggung jawabnya maka wajib diganti dengan mengangkat pemimpin lain.
Dr. Wahbah Al-Zuhaili, dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuha al-Juz 6, mengatakan bahwa pemimpin yang adil dan menjalankan syariat wajib ditaati. Sementara pemimpin yang jur dan menyimpang harus dimakzulkan dan diganti dengan yang lain. Umat memiliki hak untuk memakzulkan imam karena beberapa sebab yang mengharuskannya, seperti menciptakan ketimpangan umat muslim (Al-Zuhaili, 1985: 6/723).
Termasuk bagian dari jur, ketika pemimpin organisasi telah melanggar ADRT atau konsitutsi, logika ini senada dengan apan yang disampaikan oleh Muhammad Amin Ibnu Abidin, dalam kitab Raddu al-Mukhtar 'ala Al-Durri al-Mukhtar Syarh Tanwir Al-Abshar, seorang pemimpin dapat dimakzulkan apabila melakukan pembangkangkan (الجور). Pengangkatan seorang Imam menjadi batal dengan sendirinya apabila tujuan kepemimpinannya juga tidak tercapai, seperti murtad, gila, menjadi tahanan yang sulit diharapkan pembebasannya.
Para ulama salaf sepakat bahwa seorang pemimpin harus dimakzulkan jika memang gagal mewujudkan maslahat umat, sekalipun hanya berupa perasaan subjektif (استشعره من نفسه). Perbedaan pendapat ulama hanya menyangkut keinginan pemimpin sendiri untuk mundur. Sebagian ulama menganggapnya tidak sah, dan ulama lain menganggapnya sah. Pendapat lain mengatakan, apabila pemakzulah menciptakan dua kemudaratan, maka timbanglah dan ambil yang paling ringan (Ibnu Abidin, 2003: 6/414-415).
Dengan demikian, pemakzulan seorang pemimpin di tengah perjalanan bukan gagasan yang asing bagi para santri dan warga NU. Semua orang tahu bahwa khal’ul imam adalah urusan politik sekaligus agama. Karenanya, pertimbangan pemakzulan juga harus memperhatikan dua faktor sekaligus: alasan-alasan politis dan alasan-alasan keagamaan. Alasan politis bisa berupa kegagalan seorang pemimpin mewujudkan kesejahteraan rakyat. Alasan keagamaan adalah perilaku keagamaan seseorang sudah sesuai agama atau tidak.
MLB di Bawah Bayang-bayang Teologis
Hemat penulis, berdasarkan pengamatan terhadap wacana MLB yang disiarkan media-media massa, tidak serta merta adalah urusan hukum fikih. Tetapi, sudah merambah ke ranah teologis. Pihak-pihak yang mendorong diselenggarakannya MLB melihat bahwa PBNU telah melanggar Qanun Asasi dan Khitthah NU. Ketika bicara soal Qanun Asasi, maka perkara MLB tidak lagi urusan administrasi organisasi tetapi sudah berganti rupa menjadi perkara teologis.
Qanun Asasi yang dikarang oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU berisi ajakan pada persatuan, persaudaraan, dan anti perpecahan. Misalnya, KH. Hasyim Asy'ari mengutip ayat 153 surat Al-An'am, dimana Allah memerintahkan agar mengikuti satu jalan yang sama, tidak mengikuti banyak jalan sehingga menyimpang dari jalan-Nya. Persatuan dan solidaritas adalah nilai utama yang harus dipegang teguh.
Baca Juga: Pilkada Kuningan, H Rokhmat Ardiyan Dukung Penuh Pasangan Dian Rachmat Yanuar & Tuti Andriani
Karena itu pula, paragraf pertama setelah pendahuluan yang berisi ayat-ayat al-Qur'an, KH. Hasyim Asy'ari membangun fondasi hipotesisnya dengan pandangan bahwa persatuan, saling mengenal, dan saling menyanyangi adalah perkara yang pasti mendatangkan manfaat. Untuk meperkuat hipotesisnya itu, KH. Hasyim Asy’ari menyandarkannya pada sabda Rasulullah saw: “tangan Alah di atas jamaah apabila satu orang yang menyimpang maka akan disambar setan seperti domba disambar serigala.”
Persatuan dan kasih sayang yang diajarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi, menurut para pengusung gagasan MLB, telah dilanggar oleh PBNU. Dengan begitu bisa ditarik hipotesa baru bahwa PBNU tidak saja melanggar Qanun Asasi melainkan melanggar ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentang persatuan dan kasih sayang sesama umat muslim.
Alasan-alasan teologis semacam itu membuat para pengusung MLB tampak akan menyeriusi gagasan mereka. Perjuangan mewujudkan gagasan MLB bagi mereka secara lahiriah memang untuk mengembalikan NU kepada Qanun Asasi. Tetapi, sesungguhnya lebih dari itu, gagasan MLB dilakukan demi melaksanakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Pergeseran wacana MLB dari sekedar wacana politik dan konstitusi organisasi menjadi wacana hukum dan teologis merupakan perkembangan mutakhir yang tidak dapat disangkal.
Hemat penulis, Khal’ul Imam atau pemakzulan pemimpin, yang mungkin prakteknya akan berupa penyelenggaran MLB, bukan perkara asing dalam khazanah pesantren. Namun, para pengusung gagasan MLB juga harus memastikan bahwa PBNU memang betul-betul melanggar konstitusi NU seperti Qanun Asasi dan Khitthah 1926.(Oleh: Nihayatul Amelia, Lc/Alumni Universitas al- Azhar Mesir, Direktur Program Timur Tengah Pondok Pesantren Bina Insan Mulia)
Berita Pilihan
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan saluran WhatsApp Channel