PR KAPOLRI TERPILIH

- 5 Januari 2021, 23:13 WIB
Galun Eka Gemini
Galun Eka Gemini

Oleh Galun Eka Gemini

(Dosen STKIP Pangeran Dharma Kusuma Indramayu, 

Peneliti Sejarah TNI-Polri)

SUKSESI kursi Tribrata 1  bakal di gelar. Hal ini dikarenakan masa tugas Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz yang akan memasuki masa pensiun (per 1 Februari 2021). Sederet perwira tinggi bintang tiga muncul dalam bursa calon Kapolri. Dari internal Polri, ada nama Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (Wakapolri), Komjen Pol Agus Andrianto (Kabaharkam Polri), Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (Kabareskrim), hingga Komjen Pol Rycko Amelza Dahniel (Kabaintelkam Polri). Di luar Polri, muncul Komjen Pol Boy Rafli Amar (Kepala BNPT) dan Komjen Pol Dharma Pongrekun (Wakil Kepala BSSN).

Pemilihan Kapolri memang menjadi hak preogratif presiden, dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan dari Kompolnas dan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).  Namun, meski rakyat tidak memiliki hak pilih, sudah seyogyanya bahwa siapa pun Kapolri yang terpilih nanti harus dapat memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat. Tentu juga dapat menunjukkan kinerja terbaiknya sesuai cita-cita luhur bangsa Indonesia yang terpatri dalam Tribrata-Catur Prasetya Polri.

Professional

Harapan masyarakat agar polisi (Polri) menjadi sosok sekaligus institusi yang professional sebetulnya sudah lama digaungkan. Muncul beriringan ketika bergulirnya semangat reformasi yang terjadi dua dekade silam.  Kita agak mundur dulu ke belakang. Selama Orde Baru, Polri berada di bawah struktur ABRI. Posisinya yang demikian membuat Polri dalam kendali ABRI. Tidak sedikit berbagai kasus atau persoalan yang terjadi di lapangan diselesaikan oleh ABRI. Terlebih bila kasus yang seharusnya ditangani polisi itu menyeret anggota ABRI (TNI), penegakkan hukum tak berjalan semestinya.

Adapun dari segi penindakan, sikap dan tindakan Polri dalam penangan kasus lebih menyerupai militer. Dalam arti mengedepankan pendekatan represif (security approach). Mengapa demikian? Bisa jadi karena doktrin yang diterima aparat Polri sama persis dengan TNI. Untuk itu, peran Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat masih jauh panggang dari api. Tak kalah pentingnya, Polri (bersama unsur ABRI lainnya) menempatkan diri sebagai kepanjangan tangan politik Orde Baru. Peran Polri bukan saja sebagai penjaga Kamtibmas, melainkan juga merangsek pada jabatan-jabatan sipil di legislatif, lembaga atau kementerian-kementerian yang bukan menjadi tugas pokok dan tidak berhubungan dengan tugas-tugas di kepolisian. Itu juga sebabnya kemudian yang membuat rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.

Seiring bergulirnya semangat reformasi yang menyentuh setiap lini, Polri sebagai alat negara tak luput menjadi sasaran. Tuntutan reformasi terhadap Polri dalam rangka menjadikan Polri sebagai lembaga yang mandiri dan professional. Mandiri dalam pengertian karena secara struktur terpisah dari ABRI. Dengan demikian tanggung jawab Polri tak lagi kepada Menhakam/Panglima ABRI, melainkan bertanggung jawab langsung kepada presiden karena posisinya langsung di bawah presiden dalam sistem ketatanegaraan yang baru. 

Kemudian dikatakan professional, sebab tugas Polri hanya merujuk pada satu tugas pokok: menjaga dan memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) melalui penegakkan hukum bagi pelanggarnya.   Singkatnya, dalam mewujudkan reformasi Polri diawali dengan dipisahkannya Polri dari struktur ABRI. Hal ini sebagaimana tercantum pada Tap MPR No VI tahun 2000 tentang pemisahan Polri dan TNI. Ditambah oleh Tap MPR No VI tahun 2000 yang mengatur tentang peran Polri dan peran TNI yang menyatakan peran Polri dan TNI hanya menjalankan satu tugas pokok sebagai alat kemanan dan pertahanan negara.

Oleh karena itu, doktrin dwifungsi ABRI yang selama Orde Baru menjadi kekuatan utama pemerintah tidak lagi dibenarkan di era reformasi ini. Pertanyaannya, sudahkah reformasi Polri itu dijalan secara konsisten dan konsekuen? Tidaklah berlebihan pertanyaan ini diajukan kembali. Itu karena pada kenyataannya, sekali lagi, kehadiran Polri dirindukan sekaligus dibenci masyarakat (ambivalen). Bagaimana tidak, kehadiran polisi sangat dibutuhkan demi terpenuhinya rasa aman bagi masyarakat. Namun disisi lain, dalam banyak kejadian dan peristiwa, sikap aparat kepolisian mengedepankan tindakan-tindakan represif dalam penyelesaiannya. Sementara pendekatan preeventif dan persuasif cenderung terabaikan. Contoh teranyar barangkali dapat dilihat pada saat menyikapi massa demonstrasi yang menolak revisi UU KPK 2019 lalu dan menolak RUU Cipta Kerja (omnibuslaw) beberapa bulan lalu di tahun 2020. 

Juga keterlibatan para perwira aktif Polri pada jabatan-jabatan sipil yang tidak ada korelasinya dengan tugas kepolisian menunjukkan betapa agenda reformasi Polri belum dijalankan sepenuhnya secara konsisten dan konsekuen. Paling tidak dalam setahun terakhir, terdapat sekitar 30 perwira tinggi Polri yang berada di luar korps. 18 orang di kementerian, tujuh orang pada lembaga non-kementerian dan empat orang duduk di BUMN, dua orang sebagai duta besar. Sebagian besar atau 21 orang merupakan para perwira tinggi Polri yang masih aktif (Tempo, 1/7/2020). Banyaknya para perwira tinggi kepolisian yang duduk di jabatan sipil cukup meresahkan. Sebab dapat berdampak pada pelemahan supremasi masyarakat sipil. 

Kepemimpinan

Memang tidaklah mudah memperbaiki citra diri atau lembaga yang sudah kadung “terjustifikasi” kurang enak di dengar. Pertama, cara pandang masyarakat yang seakan mudah menyimpulkan dan mengeneralisir sesuatu, tanpa diimbangi oleh kenyataan-kenyataan lain secara objektif. Kedua, masih cukup eratnya sikap dan tindakan kepolisian dengan kekerasan yang dipertontonkan lewat media, terutama ketika menyikapi aksi demonstrasi. Ketiga, reformasi Polri dari segi kultur belum terselesaikan secara menyeluruh, terutama pada anggota-anggota di tingkat bawah. Reformasi Polri sejauh ini baru menyentuh aspek struktur dan instrumental saja.

Mengingat beberapa persoalan yang disebut di atas itu menjadi PR yang tak kalah pentingnya harus diselesaikan Kapolri terpilih nanti. Betul memang pekerjaan ini pada prinsipnya tidak dapat dialamatkan pada satu orang atau satu pihak saja, melainkan harus dilakukan dan melibatkan unsur terkait. Akan tetapi, sosok pemimpin (Kapolri) berpengaruh besar dalam menunaikan PR tersebut, sebagaimana Sulistyani (2008) katakan.

Sosok pemimpin yang bukan saja dilahirkan dari proses pendidikan formal, tegas, visioner tetapi juga bijaksana dan humanis dalam bertindak dan melahirkan kebijakan. Karakter ini penting dimiliki oleh Kapolri sebagai pimpinan yang mengatur para anggotanya, mengingat tugas pokok Polri akan senantiasa berhadapan dan berhubungan dengan masyarakat. Sebagai pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat. 

Kompolnas dan Wanjakti masih memiliki cukup waktu untuk mengkaji sekaligus mengusulkan nama calon Kapolri kepada Presiden. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar dan menghasilkan sosok Kapolri yang kehadirannya bukan saja dicintai, tetapi juga dinanti masyarakat. Selamat menanti Kapolri Baru di tahun yang baru ini.*** 

Editor: Dodi Kabar Cirebon


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x