Energi yang Berkelanjutan

- 9 November 2022, 14:26 WIB

KABARCIREBON - Jika sudah tidak dapat menemukan kembali dan berupaya menggali sumber-sumber energi baru dari setiap sumur pengeboran di setiap wilayahnya yang menjadi sumber eksplorasi, maka bisa dipastikan ketergantungan negara Indonesia melakukan impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari negara lain akan semakin bertambah besar.

Apalagi BBM menjadi kebutuhan sangat mendesak bagi masyarakat luas. Karenanya, tanpa adanya sumber energi baru, dan pada sisi lainnya untuk dapat memenuhi tingginya kebutuhan rakyat, maka Pemerintah mau tidak mau harus melakukan impor BBM.Berapa besar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sebagian besarnya bersumber dari hasil pendapatan pajak masyarakat itu harus dikeluarkan. Karena guna mendatangkan sumber energi terbarukan dari luar negara, tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Begitu juga, meski masa pandemi Covid-19 sudah mulai mereda, namun hal itu tidak dapat menjadi jaminan jika perekonomian masyarakat akan secepatnya pulih dari keterpurukan masa pandemi tahun kemarin. Dengan mulai melandainya masa pandemi ini juga bisa dikatakan sebagian besar usaha masyarakat kini baru merangkak kembali dari nol.

Sehingga ini tidak akan kuat mendorong kemampuan masyarakat membayar pajak kepada Pemerintah. Masyarakat masih lemah untuk membayar pajak. Karenanya, dalam menjaga kebutuhan masyarakat dan ketahanan energi nasional, di sini diperlukan upaya kerja keras, kerja pintar dalam mencari sumber-sumber energi baru. Jangan sampai terus-terusan melakukan impor BBM yang pada akhirnya menyebabkan pemborosan anggaran.

Meski seringkali menimbulkan polemik di lapangan. Namun, guna mencari sumber-sumber energi terbarukan bagi masyarakat bisa dilakukan dengan banyak cara. Tidak hanya dengan cara gencar melakukan kegiatan eksplorasi perut di bumi, pengeboran, pengembangan dan produksi minyak, gas dan panas bumi, penyediaan jasa teknologi, serta jasa pemboran dan services baik dalam maupun luar negeri.

Karena itu, dengan giatnya melakukan eksplorasi sumber energi dari perut bumi, maka Indonesia setidaknya akan lebih hemat, dan tidak perlu miris melihat semakin melambungnya pengeluaran APBN guna membeli BBM dari luar negara.

Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor hasil minyak atau BBM Republik Indonesia (RI) pada sepanjang tahun 2021 melonjak hingga 74%, atau menjadi US$ 14,39 miliar atau sekitar Rp 205,7 triliun (dengan asumsi kurs Rp 14.300 per US$) pada 2021 dari US$ 8,28 miliar sepanjang tahun 2020.

Lonjakan impor BBM tersebut terbilang wajar. Terlebih, pada tahun 2021 terjadinya kenaikan harga minyak mentah dunia. Di mana, berdasarkan pada data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun itu harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata menembus US$ 68,47 per barel, atau jauh di atas asumsi APBN 2021 sebesar US$ 45 per barel, bahkan di atas relisasi ICP pada tahun 2020 sebesar US$ 40,39 per barel.

Oleh karena itu, bila kita melihat pada angka-angka di atas tadi, maka dalam hal pemenuhan BBM, untuk produksi minyak mentahnya harus dihasilkan dari dalam negara ini sendiri. Sehingga dengan demikian selain produksinya lebih efsien juga menghasilkan produk yang lebih kompetitif.

Pertamina, salah satunya melalui Upstream Subholding Regional Jawa yang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) konsen dalam menjalankan kegiatan sektor hulu minyak dan gasnya untuk memberikan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan.

Meski dalam melaksanakan praktek pengeboran energi barunya kerap mendapat tantangan dari lingkungan sekitar,namun melalui pelaksanaan operasional yang lebih unggul dengan menekankan prinsip kehati-hatian, aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan lingkungan, hingga kuarta III 2022 ini, Regional Jawa Subholding Upstream Pertamina telah berhasil mencapai ketahanan energi negeri dengan menyumbang produksi minyak nasional hingga sebesar 62.288 BOPD dan gas 388,13 MMSCFD.

Dalam kontribusinya mendukung energi terbarukan dan bersih, Regional Jawa melalui PHE ONWJ Zona 5 juga menjadi pelopor dalam penggunaan solar panel yang terinstalasi pada anjungan lepas pantai utara Jawa Barat dan mendapatkan penghargaan MURI. Rekor MURI pertama adalah anjungan lepas pantai pertama yang seluruhnya beroperasi menggunakan energi surya, dan rekor MURI keduanya adalah fasilitas produksi migas dan pemasangan panel energi surya terbanyak.

Manager Communication, Relations & CID Hari Setyono menyatakan, Regional Jawa telah berkomitmen untuk menjalankan kinerja ekselen sekaligus memperkuat prinsip bisnis keberlanjutan dengan lebih mengimplementasikan nilai Environmental, Social and Governance (ESG).

Menurutnya, hidup berdampingan dengan alam dan masyarakat, Regional Jawa juga mengintegrasikan kebijakan dan program perusahaan selaras dengan aspek lingkungan, sosial dan tata Kelola perusahaan yang baik.

Pertamina EP (PEP) Zona 7 telah beberapa kali meraih piala PROPER Emas, di antaranya PEP Subang Field yang telah 4 kali membawa pulang PROPER Emas.

"Dengan diperolehnya penghargaan PROPER tertinggi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menjadi penyemangat bagi PEP untuk semakin meningkatkan kontribusi perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, tentu saja dengan dukungan dan sinergi baik dengan pemerintah setempat serta stakeholder lainnya," imbuh Hari.(Epih Pahlapi/Penulis adalah wartawan Ekonomi dan Bisnis Kabar Cirebon)

Editor: Fani Kabar Cirebon


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x