KABAR CIREBON - Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia mencermati substansi putusan PN Jakarta Pusat dan reaksi yang muncul dari putusan tersebut. Putusan tersebut pada prinsipnya menimbulkan tanda tanya dan kontroversi di tengah masyarakat.
Putusan pengadilan tidak bekerja di ruang hampa, karena ada aspirasi yang hidup di masyarakat secara sosiologis, ada aspek yuridis di mana kepatuhan terhadap UUD 1945 dan undang-undang sangatlah penting, serta pertimbangan-pertimbangan lain, seperti nilai-nilai demokrasi. Kesemua itu menjadi bagian dari yang mesti digali oleh hakim dalam membuat putusan.
Untuk itu, KY akan melakukan pendalaman terhadap putusan itu, terutama untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran perilaku yang terjadi. Salah satu bagian dari pendalaman itu bisa jadi dengan memanggil hakim untuk dimintakan klarifikasi.
Apabila ada dugaan yang kuat telah terjadi pelanggaran perilaku hakim, maka KY akan melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang bersangkutan.
Namun, perlu digarisbawahi, terkait dengan substansi putusan, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan ini adalah melalui upaya hukum. Domain KY berfokus pada aspek dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
KY juga akan berkomunikasi dengan Mahkamah Agung terkait dengan putusan ini serta aspek perilaku hakim yang terkait.
Komisi Yudisial Republik Indonesia (disingkat KY RI atau KY) sendiri merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kewenangannya mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) memberikan putusan pada Kamis (2/3/2023) kemarin yang menghukum KPU agar tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu. Kemudian melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Hal itu tentunya berimbas pada penundaan pemilu.
Putusan itu sendiri berangkat dari gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) yang merasa dirugikan oleh KPU karena dinyatakan tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024, sehingga tak bisa ambil bagian dalam Pemilu 2024.***