Nasihat Mati dan Kematian

13 Januari 2021, 23:31 WIB
Imam Nur Suharno

Oleh Imam Nur Suharno

Kepala HRD dan Personalia Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan

SEPANJANG tahun 2020 lalu, sejumlah ulama berpulang ke rahmatullah. Kepergian ulama telah meninggalkan duka yang mendalam. Salah satu media nasional menyebutkan, sejumlah ulama yang berpulang di tahun 2020. Semoga hal ini bisa menjadi nasihat dan introspeksi bagi kita semua. Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas wafat 2 Januari 2020; Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang KH Salahuddin Wahid wafat 2 Februari 2020; Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ghozali Masruri wafat 19 Februari 2020; Prof KH Usman Said ulama senior dan cendekiawan Sumatra Selatan wafat 16 April 2020; Ulama karismatik Kota Banjarmasin, KH Ahmad Zuhdiannoor wafat 2 Mei 2020.

Kemudian, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Syamsul Hadi Abdan wafat 18 Mei 2020; Ketua Majelis Syura PKS 2005-2015 KH Hilmi Aminuddin wafat 30 Juni 2020; Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia Prof KH Abdullah Syam wafat 14 juli 2020; KH Hasyim Wahid wafat 1 Agustus 2020; Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Abdullah Syukri Zarkasyi wafat 21 Oktober 2020; Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Kediri, KH Fuad Mun'im Djazuli wafat 17 Oktober 2020; dan Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta Barat KH Noer Muhammad Iskandar SQ wafat 13 Desember 2020.

Dengan meninggalnya para ulama tersebut mengingatkan kembali akan nasihat mati dan kematian. Sejatinya, sebelum dilahirkan ke dunia ini sudah ditentukan akan kematian seseorang, sejak masih dalam kandungan ibu.

Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud RA beliau berkata, Rasulullah SAW menyampaikan kepada kami dan beliau orang yang benar dan dibenarkan, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama 40 hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (alaqah) selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama 40 hari. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat, lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan 4 perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya...” (HR Bukhari dan Muslim).

Di antara pelajaran dari hadis di atas, bahwa ajal atau kematian telah ditetapkan sebelum manusia dilahirkan. Kematian menyambangi siapa saja yang bernyawa (QS Ali Imran [3]:185), tidak ada tawar menawar, dan masing-masing memiliki batasan waktunya (QS al-A’raf [7]: 34). Kematian datang bersifat memaksa dan menghampiri setiap manusia meskipun berusaha menghindarinya (QS Ali Imran [3]: 154), mengejar siapapun meski berlindung di balik benteng yang kokoh (QS an-Nisa [4]: 78), mengejar siapapun meskipun lari menghindar (QS al-Jumu’ah [62]: 8), datang secara tiba-tiba (QS Luqman [31]: 34), dan tidak dapat ditunda dan dipercepat (QS al-Munafiqun [63]: 11).

Kematian tidak mengenal syarat, misalnya, yang paling tua, atau yang paling lama sakit, atau yang sudah menikah. Seringkali kita melayat orang yang meninggal dunia, usianya masih muda, atau dalam keadaan tidak sakit, dan atau belum menikah.

Tidak seorang pun tahu kapan datangnya kematian. Manusia dituntut mempersiapkan diri menghadapinya. Nabi SAW bersabda, “Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR Tirmidzi).

Ketika Nabi SAW ditanya oleh seorang dari Anshar, “Wahai Nabi, siapakah orang yang paling cerdas dan mulia?” Beliau menjawab, “Orang yang paling banyak mengingat mati dan siap menghadapinya. Mereka orang paling cerdas. Mereka pergi dengan membawa kemuliaan di dunia dan kehormatan di akhirat.” (HR Tirmidzi).

Terkait dahsyatnya kematian (sakaratul maut), Nabi SAW bersabda, “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang.” (HR Tirmidzi). Dalam hadis lain, “Kematian yang paling ringan ibarat sebatang pohon penuh duri yang menancap di selembar kain sutra. Apakah batang pohon duri itu dapat diambil tanpa membawa serta bagian kain sutra yang tersobek?” (HR Bukhari).

Dalam atsar (pendapat) para sahabat Nabi SAW. Seperti Ka'ab al-Ahbar berpendapat: “Sakaratul maut ibarat sebatang pohon berduri yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Lalu, seorang laki-laki menariknya dengan sekuat-kuatnya sehingga ranting itu pun membawa semua bagian tubuh yang menyangkut padanya dan meninggalkan yang tersisa.” Kemudian, Imam Ghozali berpendapat: “Rasa sakit yang dirasa kan selama sakaratul maut menghujam jiwa dan menyebar ke selu ruh anggota tubuh sehingga bagi orang yang sedang sekarat merasa kan dirinya ditarik-tarik dan dicerabuti dari setiap urat nadi, urat syaraf, persendian, dari setiap akar rambut dan kulit kepala hingga kaki.”

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi). Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Semoga Allah SWT membimbing kita kaum Muslimin agar dalam penantian datangnya kematian dapat memanfaatkan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya kepada umat. Amin.***

Editor: Dodi Kabar Cirebon

Terkini

Terpopuler