PR KAPOLRI TERPILIH

- 5 Januari 2021, 23:13 WIB
Galun Eka Gemini
Galun Eka Gemini

Oleh karena itu, doktrin dwifungsi ABRI yang selama Orde Baru menjadi kekuatan utama pemerintah tidak lagi dibenarkan di era reformasi ini. Pertanyaannya, sudahkah reformasi Polri itu dijalan secara konsisten dan konsekuen? Tidaklah berlebihan pertanyaan ini diajukan kembali. Itu karena pada kenyataannya, sekali lagi, kehadiran Polri dirindukan sekaligus dibenci masyarakat (ambivalen). Bagaimana tidak, kehadiran polisi sangat dibutuhkan demi terpenuhinya rasa aman bagi masyarakat. Namun disisi lain, dalam banyak kejadian dan peristiwa, sikap aparat kepolisian mengedepankan tindakan-tindakan represif dalam penyelesaiannya. Sementara pendekatan preeventif dan persuasif cenderung terabaikan. Contoh teranyar barangkali dapat dilihat pada saat menyikapi massa demonstrasi yang menolak revisi UU KPK 2019 lalu dan menolak RUU Cipta Kerja (omnibuslaw) beberapa bulan lalu di tahun 2020. 

Juga keterlibatan para perwira aktif Polri pada jabatan-jabatan sipil yang tidak ada korelasinya dengan tugas kepolisian menunjukkan betapa agenda reformasi Polri belum dijalankan sepenuhnya secara konsisten dan konsekuen. Paling tidak dalam setahun terakhir, terdapat sekitar 30 perwira tinggi Polri yang berada di luar korps. 18 orang di kementerian, tujuh orang pada lembaga non-kementerian dan empat orang duduk di BUMN, dua orang sebagai duta besar. Sebagian besar atau 21 orang merupakan para perwira tinggi Polri yang masih aktif (Tempo, 1/7/2020). Banyaknya para perwira tinggi kepolisian yang duduk di jabatan sipil cukup meresahkan. Sebab dapat berdampak pada pelemahan supremasi masyarakat sipil. 

Kepemimpinan

Memang tidaklah mudah memperbaiki citra diri atau lembaga yang sudah kadung “terjustifikasi” kurang enak di dengar. Pertama, cara pandang masyarakat yang seakan mudah menyimpulkan dan mengeneralisir sesuatu, tanpa diimbangi oleh kenyataan-kenyataan lain secara objektif. Kedua, masih cukup eratnya sikap dan tindakan kepolisian dengan kekerasan yang dipertontonkan lewat media, terutama ketika menyikapi aksi demonstrasi. Ketiga, reformasi Polri dari segi kultur belum terselesaikan secara menyeluruh, terutama pada anggota-anggota di tingkat bawah. Reformasi Polri sejauh ini baru menyentuh aspek struktur dan instrumental saja.

Mengingat beberapa persoalan yang disebut di atas itu menjadi PR yang tak kalah pentingnya harus diselesaikan Kapolri terpilih nanti. Betul memang pekerjaan ini pada prinsipnya tidak dapat dialamatkan pada satu orang atau satu pihak saja, melainkan harus dilakukan dan melibatkan unsur terkait. Akan tetapi, sosok pemimpin (Kapolri) berpengaruh besar dalam menunaikan PR tersebut, sebagaimana Sulistyani (2008) katakan.

Halaman:

Editor: Dodi Kabar Cirebon


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x