Menelisik Kebijakan Kenaikan BBM

- 13 Juli 2022, 22:15 WIB
S. Sandi Wiranata
S. Sandi Wiranata

Oleh S. Sandi Wiranata
Penulis adalah Peneliti di Lembaga Anpolar Padjadjaran

Kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ini akan berpengaruh pada perilaku konsumen. Kemudian, akan berdampak terhadap kenaikan harga barang dan jasa serta berujung pada inflasi dan akan terganggunya pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Dengan demikian perlu dipertanyakan efektivitas kebijakan tersebut.

ADA gap yang terlalu besar saat ini ketika pemerintah memutuskan untuk menaikan lagi harga bahan bakar minyak (BBM). Menyusul naiknya harga bahan bakar minyak jenis Pertamak Turbo, Dexlite dan Pertamina Dex untuk Pertamak Turbo yang awalnya berharga Rp 14.500 per liter kini naik menjadi Rp 16.200 per liter.
Kemudian pertamina Dex yang harga awalnya Rp 13.700 perliter naik menjadi Rp 16.500 per liter dan harga Dexlite naik sebesar Rp 15.000 per liter yang sebelumnya Rp 12.950 per liter.
Padahal, pertamina baru saja mensyaratkan penggunaan aplikasi Mypertamina untuk membeli bahan bakar minyak bersubsidi demi mendorong migrasi ke bahan bakar minyak non subsidi.
Semestinya, pemerintah melalui pertamina harus mengutamakan keseimbangan dalam menentukan setiap kebijakan. Terutama, kebijakan dalam menentukan harga supaya tidak terlalu jauh gapnya antara harga bahan bakar minyak bersubsidi dengan non subsidi.
Saat ini, jaraknya sudah hampir 100 persen dengan yang bersubsidi. Contoh pada saat bahan bakar minyak kemarin waktu Pertalite itu harganya Rp 7.650 kemudian saat itu Pertamak pernah di harga Rp 9.000 dengan harga yang tidak terlalu jauh selisihnya, masyarakat mudah memahami dan mengerti untuk memilih manfaat mengkonsumsi bahan bakar minyak yang lebih baik.
Fakta tersebut menunjukan bahwa pemerintah ingin meminta kepada masyarakat yang mampu untuk membeli bahan bakar yang tidak bersubsidi. Tapi, karena harganya terlalu jauh dan semakin tinggi, kebijakan tersebut menjadi tidak efektif. Apalagi, berdasarkan kajian dari pertamina, 60 persen masyarakat mampu mengkonsumsi 80 persen bahan bakar minyak bersubsidi.
Saat ini pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dengan alasan karena harga minyak dunia yang terus mengalami lonjakan kenaikan. Sehingga, diharapkan mampu membantu meringankan beban APBN dalam mensubsidi harga.
Tetapi, dengan kebijakan membantu tersebut menyebabkan resiko fiskal. Yaitu, kenaikan beban subsidi. Jadi, sepertinya kebijakan tersebut memunculkan gap yang besar. Karena semestinya, Pertamina harus bisa mengkombinasikan kebijakan antara kebijakan bahan bakar minyak berdasarkan harga pasar dan juga kebijakan bahan bakar bersubsidi.
Dengan jauhnya jarak harga antara bahan bakar minyak subsidi dan non subsidi, maka masyarakat akan kembali memilih harga yang lebih rendah.
Dan tidak menutup kemungkinan masyarakat mampu juga bermigrasi dan akan beralih ke pertamak dari pertamak turbo. Sehingga kebijakan ini menjadi kurang efektif karena selisih harga yang sangat jauh tersebut.
Selain hal tersebut di atas, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ini akan berpengaruh pada perilaku konsumen yang kemudian akan berdampak terhadap kenaikan harga barang dan jasa serta berujung pada inflasi dan akan terganggunya pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi dengan demikian perlu di pertanyakan efektivitas kebijakan tersebut.
Tingkat inflasi saat ini sudah cukup tinggi, misalkan per 1 Juli 2022 dipublikasi BPS untuk tingkat Jawa Barat sudah 0,5 persen inflasi bulanannya dan Inflasi tahunan sudah di atas 4 persen maka itu akan mempunyai implikasi yang banyak. Dengan demikian pemerintah dan pertamina semestinya perlu mengkaji kembali dalam menyeimbangkan keputusannya.***

Editor: Ajay Kabar Cirebon


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x