Sumbangsih Milenial Ikhtiar Menafsir Pernyataan Megawati

- 22 November 2020, 22:56 WIB
Noval
Noval

Oleh Noval

Peneliti Wisdom Institute

PUBLIK terkejut dan heran. Sudah lama tak muncul di media, tetiba melempar satu pernyataan yang bikin telinga merah. Di tengah-tengah gelombang domonstrasi penolakan Undang-Undang Cipta Kerja, ia menyoal sumbangsih milenial.  Dengan nada agak tinggi dan raut muka sedikit jengkel, ia menuntut milenial tidak hanya bisa unjuk rasa, apalagi unjuk rasanya merusak fasilitas publik, tetapi juga harus memberikan sumbangsih yang nyata bagi bangsa dan negara. Menurutnya, selama ini kaum milenial belum memberikan sumbangsih nyata bagi negara, padahal ia dimanjakan oleh kecanggihan teknologi dan segala fasilitas.

Pernyataan Megawati ini memantik aneka ragam respons, kritik dan tafsir. Dari aneka ragam tafsir dan pemahaman inilah kemudian lahir perdebatan di antara tokoh dan elite, dari tokoh pemuda, mahasiswa, politisi serta akademisi. Tetapi di sini saya tidak mau terjebak dalam perdebatan itu. Saya lebih suka membongkar dan menafsir apa yang tersimpan di balik pernyataan Megawati. Karena saya yakin bahwa terdapat maksud tersirat yang ingin disampaikannya kepada publik, selain hanya soal aksi unjuk rasa mahasiswa.

Baik, saya akan coba memulai mempreteli pernyataan Megawati, supaya makna intrinsiknya tersampaikan ke hadapan publik. Ia melontarkan pernyataan tersebut dalam rangka merefleksi Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober kemarin, yang kebetulan bertepatan dengan peresmian PDIP. Hakikatnya, ia tidak hanya menyoal sumbangsih milenial yang sedang berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja itu, tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin menyoal dan menagih sumbangsih milenial yang ada di dalam lingkaran kekuasaan istana.

Sebagaimana kita mafhum, kekuasaan Jokowi-Makruf Amin dikelilingi oleh sekelompok milenial. Mulai dari pendukung milenial, stafsus milenial hingga menteri milenial. Tetapi dalam setahun kepemimpinan Jokowi-Makruf Amin, mereka belum memberikan sumbangan apa-apa. Tak ada gagasan-gagasan segar yang coba mereka tawarkan kepada Jokowi. Padahal, di masa peceklik seperti sekarang ini, gagasan-gagasan segar kaum milenial begitu sangat dibutuhkan. Gagasan-gagasan milenial harusnya hadir menjadi oase di tengah-tengah gurun kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kian hari kian gersang ini.

Mereka harusnya hadir membantu pemerintahan Jokowi-Makruf mengatasi problematika yang sedang melanda bangsa ini. Bukan malah menjadi benalu atau paling tidak menambah beban pemerintah.  Meraka harusnya peka bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Rerimbun persoalan sedang menghantam bangsa ini. Mulai dari bencana Covid-19 yang tak kunjung mereda dan belum diketahui kapan akan berakhir, hingga ancaman resesi ekonomi dan ancaman intoleransi antarkelompok, aliran dan agama.

Milenial di lingkaran Jokowi harusnya bikin terobosan program yang benar-benar menyentuh ke jantung persoalan. Bukan malah doyan beronani dengan pikiran-pikirannya sendiri dan bahkan hanya ongkang-ongkang kaki bikin pencitraan. Keberadaan stafsus milenial nyaris tak terlihat peranannya selama ini. Mereka miskin gagasan. 

Jokowi selama ini tak terbantu oleh keberadaan mereka. Padahal tanggung jawab mereka adalah membantu percepatan program pemerintahan Jokowi. Mereka harusnya mampu menerjemahkan cita-cita politik Jokowi, sehingga cita-cita politiknya di periode kedua ini dapat digapainya.

Milenial di Tubuh Partai Politik

Selain menyoal sumbangsih milenial, terutama yang ada di lingkaran kekuasaan Jokowi, Megawati juga menyoal sumbangsih milenial di dalam tubuh partai politik. Kita sama-sama mafhum, bahwa ada banyak milenial di dalamnya, tetapi peran dan sumbangsihnya selama ini masih samar dan tak tampak ke publik, untuk tidak dikatakan nihil. Maka tidak berlebihan ketika Pengamat Politik Nasional dari UIN Ciputat, Adi Prayitno, mengatakan bahwa kiprah dan sumbangsih milenial di dalam partai politik masih di bawah ekspektasi publik dan suaranya nyaris tak terdengar dan tak didengar.

Menurutnya, ini terjadi disebabkan partai politik kita dikuasai oleh gerombolan orang tua, sehingga suara-suara milenial tidak diperdulikan. Kaum milenial hanya jadi ban serep dan penggembira partai belaka, yang suaranya hanya dianggap angin malam.Satu-satunya cara supaya sumbangsih milenial terlihat dan suaranya (minimal) didengarkan, maka mereka harus menguasai partai politik dengan merebut kursi ketua dan pimpinan partai, tentu dengan jalan yang demokratis dan cara yang halal.

Milenial di tubuh partai politik harus mampu menjawab tuntutan Megawati agar ia (milenial) memberikan sumbangsihnya ke bangsa ini dan harus mampu membuktikan kepada Megawati bahwa mereka mampu memberikan Sumbangsih dan memberikan solusi bagi bangsa ini dengan cara merebut kursi ketua umum dan kursi-kursi pimpinan partai politik.

Jangan biarkan kursi-kursi tersebut dikuasai oleh kelompok kakek-nenek dan emak-emak. Karena hanya dengan cara itulah suara milenial didengar dan keberadaannya tidak dipandang sebelah mata. ***

Editor: Dodi Kabar Cirebon


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah