Netizen Belum Siap
Terima Konten Edukasi

- 12 Juni 2022, 21:18 WIB

Oleh: Dimas Wahyudi

Penulis Adalah Mahasiswa Program Studi Manajemen Komunikasi
Universitas Padjadjaran

Kita juga harus ingat bahwa cara terbaik menanggapi konten tidak mendidik adalah mengabaikannya, bukan menghujat atau justru membagikannya di media sosial. Karena semakin sepi konten tidak mendidik, kreator akan mencari cara lain untuk mendapatkan jumlah penonton.

Kita juga harus ingat bahwa cara terbaik menanggapi konten tidak mendidik adalah mengabaikannya, bukan menghujat atau justru membagikannya di media sosial. Karena semakin sepi konten tidak mendidik, kreator akan mencari cara lain untuk mendapatkan jumlah penonton.

STOP making stupid people famous, adagium tersebut seringkali terlihat dalam kolom komentar postingan viral di media sosial, khususnya Tiktok, YouTube, dan Instagram. Bagaimana tidak, seiring dengan maraknya penggunaan media sosial, banyak di antara kontennya yang dianggap tidak penting, kontroversial, bahkan dicap tidak mendidik.
Penggunaan internet yang tumbuh signifikan menjadi salah satu penyebabnya. Dilansir dari We Are Social, pengguna internet di Indonesia mencapai 205 juta per Januari 2022. Artinya, tiga dari empat orang di Indonesia menggunakan internet.
Banyaknya jumlah pengguna membuat konten yang bertebaran semakin beragam. Segala hal kini dapat menjadi trending topic, viral, dan dibincangkan publik. Tidak terkecuali konten-konten yang tidak mendidik. Perlu digarisbawahi, konten tidak mendidik yang dimaksud adalah konten yang memuat unsur negatif, drama sensasional, dan konten yang dapat memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat.
Misalnya, perseteruan artis, video dengan muatan seksual, atau konten prank yang membahayakan. Umumnya, konten tersebut dibuat demi mencapai popularitas, mencari pundi-pundi uang, atau sekadar mendapatkan perhatian.
Seperti yang kita tahu, konten-konten tersebut lebih laku dibandingkan konten edukasi yang memuat pengetahuan. Hal ini terjadi sesuai dengan hukum ekonomi, penawaran terjadi karena permintaan. Minat masyarakat yang tinggi terhadap konten hiburan membuat para kreator menjawab permintaan tersebut.
Hal ini masuk akal karena bagi sebagian besar orang, media sosial merupakan sarana rekreasi yang menjadi pengalihan dari kehidupan yang sebenarnya. Sayangnya, persaingan ketat dalam dunia hiburan mengharuskan para kreator mempertahankan penonton mereka dengan cara apapun.
Alih-alih meningkatkan kualitas konten, beberapa kreator memilih untuk menciptakan sensasi atau memasukkan unsur seksualitas dan ujaran kebencian demi meningkatkan jumlah tayangan.

Panduan
Kurangnya edukasi terhadap para kreator menjadikan mereka tidak memiliki panduan dalam membuat konten. Mekanismenya sederhana, mereka melihat konten yang laku di media kemudian membuat konten serupa dengan harapan dapat viral dan terkenal.
Parahnya, hal ini didukung oleh algoritma sosial media. Sebut saja YouTube, Instagram, dan Tiktok. Media sosial memungkinkan terjadinya polarisasi, di mana pengguna dikelompokkan berdasarkan konten yang sering ia tonton untuk kemudian diberi konten serupa terus-menerus.
Tujuannya jelas, untuk membuat pengguna merasa betah dan berlama-lama bermain sosial media. Masyarakat yang cenderung tertarik dengan konten bermuatan negatif tentu akan semakin candu. Mereka jarang diberi kesempatan melihat konten edukatif. Kalau menemukan pun, akan cenderung diabaikan karena dianggap membosankan dan kurang menarik.
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum siap dengan konten edukasi. Konten edukasi yang dimaksud adalah konten yang menyajikan pengetahuan dan informasi sebagai menu utamanya. Polarisasi media sosial diikuti dengan kebiasaan masyarakat mengonsumsi konten tidak mendidik memaksa kita mencari alternatif lain untuk memperbaiki kebiasaan netizen Indonesia, yang akan secara signifikanmemengaruhi kualitas sumber daya manusia.
Belum lagi, sulitnya membuat konten edukasi yang menarik ditambah minat masyarakat yang semakin kecil menjadikan para kreator membanting setir. Banyak dari mereka yang memilih berhenti atau beralih membuat konten hiburan karena memiliki permintaan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, hal yang pertama kali dapat dilakukan adalah membuat konten hiburan yang bermuatan positif. Ini akan jauh lebih mudah ketimbang ‘melawan’ konten tidak mendidik dengan konten edukasi.
Semua orang butuh hiburan, dan umumnya mereka mencari hiburan itu di sosial media. Sebelum beralih ke konten edukasi, masyarakat kita perlu menerima konten hiburan yang edukatif atau minimal tidak memuat terlalu banyak hal negatif.

Halaman:

Editor: Alif Kabar Cirebon


Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah