Negara Perang dan Perang Negara

14 September 2020, 22:22 WIB
Sutan Aji Nugraha

Oleh Sutan Aji Nugraha

(Pengamat Politik, tinggal di Kota Cirebon)

COCOK dengan hasratnya negara yang berperang-perangan, peperangan dapat di bagi atas dua jenis. Pembagian dimaksudkan berdasarkan pertentangan yang benar-benar nyata. Dengan bahasa lain, bagian yang satu dengan lainnya, tidak saling menutupi, melainkan benar-benar terpisahkan.

Perang jenis pertama, yaitu: Perang yang dilakukan oleh negara ceroboh kepada negara lain dengan memiliki maksud untuk memeras dan menindas. Perang jenis kedua, ialah: Perang yang disambut oleh satu negara terserang untuk menghindar diri dari serangan dan atau membebaskan diri dari negara pemeras dan penindas yang sudah berlaku.

Kita namakan saja perang yang dimaksud jenis pertama perang “penindasan” dan perang kedua “perang kemerdekaan”. Kebanyakan peperangan yang dijalankan pada zaman feodal dikala negara merebut negara, di benua Asia, Afrika dan Eropa, yang sering kita kenal dalam cerita dan dongeng adalah perang penindasan. Perang penindasan yang dilakukan di zaman kapitalisme ini kita sebut “perang kapitalisme”. Hasratnya peperangan kapitalisme itu ialah:

Pertama: untuk merebut bahan-pabrik serta bahan makanan dari negara yang hendak ditaklukkan itu. Kedua: untuk merebut pasarannya negara takluk dan negara jajahan itu buat menjualkan barang pabriknya negara menang atau negara penjajah. Ketiga: Untuk menanamkan modal kaum penjajahan dalam kebun tambang, pabrik, pengangkutan, perdagangan serta bank asuransinya di jajahan dan dikuasainya itu.

Dari ketiga hasrat, pada satu pihak menyebabkan bertambah kaya dan kuasanya kaum-kapitalis di negara penjajah. Di lain pihak menyebabkan bertambah miskin, melarat dan bodohnya rakyat di jajahan itu. Tetapi sebaliknya pula dengan merajalelanya kemelaratan dan tindasan, maka timbulah pula gerakan kemerdekaan buat melepaskan diri dari pemerasan dan tindasan yang terjadi. Gerakan kemerdekaan itu pada satu tempo di satu tempat bisa meletus menjadi perang kemerdekaan. Perang kemerdekaan itulah yang tadi di atas kita masuklah ke dalam jenis kedua.

Baik di zaman feodal ataupun di zaman kapitalisme ini perang kemerdekaan itu sering pula terjadi. Perang kemerdekaaan itupun boleh pula kita bagi atas dua golongan, ialah:

Pertama: Perang kemerdekaan yang dilakukan oleh penduduk jajahan melawan negara penjajahan untuk melepaskan belenggu yang dipasangkan oleh negara penjajahan atas dirinya. Perang kemerdekaan semacam ini sering juga disebut perang kemerdekaan nasional. Perang kemerdekaan nasional yang termasyhur di abad ke-18, ialah perang kemerdekaan yang jaya, antara Amerika terjajah dan Inggris penjajah. Lamanya perang telah memakan kurang lebih dalam kurun waktu tujuh tahun. Tetapi perang kemerdekaan nasional di Amerika tidak-lah berlaku antara dua bangsa yang berlainan, melainkan di antara satu bangsa, ialah bangsa Anglo Saxon.

Kedua: Perang kemerdekaan oleh satu kelas dalam negara melawan kelas lain di antara sesama bangsa dalam satu negara. Perang kemerdekaan semacam ini disebut juga “perang saudara” atau “peperangan sosial”. Perang saudara atau perang sosial ini mempunyai dua corak. Yang pertama bercorak borjuis dan yang kedua bercorak proletaris. Contoh perang kemerdekaan borjuis berlaku di Perancis pada tahun 1789 hingga 1848. Pada perang saudara atau perang sosial ini kaum borjuis melawan kaum feodal dan agamis (pendeta di waktu itu). Perang kemerdekaan yang meletus pada tahun 1789 ini terakhir lebih kurang pada tahun 1848 dengan kemenangan kaum borjuis. Contoh masyhur pula untuk perang proletar terdapat di Perancis pula, ialah pada tahun 1871. Dalam perang kemerdekaan proletaris ini, kaum proletar Paris merebut dan memegang kekuasaan di kota Paris selama kurang lebih 72 hari saja. Di Rusia pada tahun 1917 berlakulah berturut-turut revolusi-borjuis dan revolusi (perang) kemerdekaan proletaris. Pada tingkat pertama kaum borjuis menyingkirkan kaum feodal dan pada tingkat kedua kaum proletar dengan kekerasan menghancur-leburkan keduanya, yakni kaum feodal, pendeta dan kaum borjuis. Ada pula orang menyebut-nyebut perang ideologis! Tetapi kalau dikaji lebih mendalam, maka perang-ideologis ini pun mengandung dasar yang nyata, ialah hasrat politik dan ekonomi yang mengakibatkan atau mewujudkan keuntungan politik dan ekonomi juga.

Berkaca kepada revolusi Perancis serta kemerdekaan nasional yang terjadi saat itu merupakan tonggak perjuangan menuju negara demokratis, ber-keadilan, ber-kemanusiaan dan sejahtera. Oleh karena itu, dalam pergerakan di Indonesia tidak terlepas kepada tonggak perjuangan tersebut. Proletar dapat diartikan peasant, dimana pada waktu itu mendominasi Perancis.

Sebenarnya keadaan rakyat yang ingin ber-revolusi bukan karena ada pemimpin yang gila berontak dan bukan juga kepada pemimpin gerakan yang progressif dan revolusioner. Melainkan, syarat utama revolusi ada dua, yakni pertama: ada tokoh progressif dan revolusioner serta keduanya adalah memiliki perasaan satu nasib sesama bangsa, dalam hal ini rakyat merasakan kemerataan tidak lebih sejahtera.

Dengan begitu, keadaan Indonesia tidak dapat dipungkiri memiliki persamaan pada kedua peperangan yang dimaksud. Oleh kerena itu, setiap daerah di Indonesia ingin memisahkan diri dari pemerintah pusat. Dapat digambarkan perseteruan/peperangan (turf wars) antara partai politik, penegak hukum, lembaga-lembaga tinggi negara, pemerintah daerah (pemda) versus pemda, pemerintah pusat dengan pemda, pemerintah RI dengan negara tetangga.

Terlihat beberapa kasus yang terjadi lebih menyangkut kepada integritas negara, aksi kekerasan kepada kaum mahasiswa dan rakyat Papua yang tetap eksis untuk memisahkan diri dari NKRI, ya hak rakyat Papua untuk referendum. Dan yang terakhir ditunjukkan yaitu Timor-Timur, yang sekarang telah menjelma sebagai sebuah negara merdeka, Timor Leste. Itulah beberapa ilustrasi dari berbagai masalah integritas bangsa ini.

Berkaitan dengan itu semua ialah karena rasa kesejahteraan tidak merata, yang berawal memisahkan diri dari bagian terkecil, kota/kabupaten menginginkan menjadi sebuah provinsi. Dalam hal memandang berbagai peristiwa integritas mengisyaratkan bahwa akar permasalahannya tidak ada korelasi variabel kesejahteraan antara pusat dan daerah. Sungguh sebuah ironi demokrasi pasca runtuhnya rezim otoritarian.

Semakin maraknya kejadian perpecahan (disintegrasi) bangsa, merambah kepada peperangan antar institusi di dalam negara. Seperti sekarang ini, masyarakat dapat melihat serta menilai perselisihan institusi yang mengatasnamakan pro-rakyat, berdiri atas nama rakyat untuk memerangi musuh rakyat (koruptor).

Krisis kepimpinan (reformasi cacat) merupakan sumber dari disintegritas bangsa dan peperangan institusi negara. Sebuah pernyataan yang dibilang klise, namun menyebabkan muara dari segala sumber kekacauan. Sebelum kepemimpinan dipegang oleh seseorang yang memiliki integritas tinggi, pedoman dalam kesejahteraan rakyatnya (ideologi), maka sebuah keniscayaan Indonesia akan menjadi Sovjet-sovjet negara kapitalis dan imperalis.

Sudah saatnya pemimpin Sosialis Kerakyatan mengambil alih pimpinan (daerah/pusat) dalam integritas dan ideologi bangsa ini. Sebuah perubahan nyata untuk kesejahteraan rakyat dan sebuah perjalanan sejarah yang membuktikan bahwa pimpinan Sosialis Kerakyatan lebih mementingkan kesejahteraan hakiki bagi rakyatnya karena rakyat dilihat sebagai subjek, tidak sebaliknya seperti pengakuan yang mengaku kaum “Sosialis”.

Kesejahteran yang hakiki ialah menempatkan setiap manusia memiliki nilai, harkat dan martabat yang setara. Dan semua itu diperoleh karena rakyat sejahtera secara jasmani dan rohani.***

Editor: Dodi Kabar Cirebon

Terkini

Terpopuler