Namun ia membantah disebut mendapat aliran dana hasil korupsi bansos beras tersebut. Pasalnya, dirinya hanya diberi tugas oleh Koordinator PKH Kabupaten Cirebon (Korkab) untuk menyalurkan bansos tersebut dengan dijanjikan bayaran Rp 1.000 per karung beras.
Bahkan, ia justru merasa kecewa dengan hasil akhir pekerjaan tambahan sebagai pendamping PKH tersebut. Karena, bayaran yang ia terima tidak sesuai perjanjian awal, yakni Rp 1.000 per karung isi 25 kilogram beras. Sedangkan jatah per keluarga penerima manfaat adalah 2 karung.
Namun faktanya, terang dia, upah yang ia terima mendadak berubah. Semua pendamping PKH hanya mendapatkan imbalan sebesar Rp 300 ribu untuk penyaluran beras dalam dua tahap itu.
Perubahan besaran upah tersebut terjadi setelah dirinya menyewa gudang untuk menampung beras.
"Kami jelas tekor tenaga dan waktu, sebab dari uang Rp 300 ribu itu saya hanya menerima bersihnya Rp 50 ribu," lirihnya.
Ia menyebut, uang tersebut harus ia bagikan kepada sopir, kuli panggul, sewa gudang, dan untuk koordinasi petugas keamanan hingga kebersihan karena tidak ditanggung oleh Korkab.
Baca Juga: Mengintip Sepak Terjang Tokoh Otomotif Nasional, Bos Indomobil Soebronto Laras Semasa Hidupnya
"Kami sewa gudang untuk tempat beras, karena pihak pemdes banyak yang menolak dibagikan di desa, alasannya karena takut ricuh. Makanya kita sewa gudang," ucapnya.
Ia menjelaskan, dari sekira 40 pendamping PKH yang ada di Kabupaten Cirebon, semua mengeluh dan merasa kecewa dengan pembayaran upah yang tidak sesuai perjanjian awal tersebut.
"Yang menjanjikan Rp 1.000 itu Korkab, uangnya juga dikasih oleh Korkab setelah pekerjaan selesai. Jadi, waktu mengisi (menjawab, Red) pertanyaan KPK, dapat berapa dari (penyaluran, Red) itu, ya saya jawab Rp 1.000 walaupun kenyataannya tidak seperti itu," ungkapnya.