Tolak MenDO Lima Santrinya, Ponpes BIMA: Bakal Tuntut Balik Pelapor

15 April 2022, 23:06 WIB
Ustad Muhammad Rifai

KABARCIREBON- Pihak Pondok Pesantren (Ponpes) BIMA Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, membantah adanya dugaan bullying yang kini kasusnya sudah dilaporkan ke Polres Kota (Polresta) Cirebon. Pihak pesantren pun berjanji bakal menuntut balik pelapor atas dugaan laporan palsu dan pencemaran nama baik.

Pengawas Ponpes BIMA Dukupuntang, Ustad Muhammad Rifai menegaskan, apa yang telah disampaikan pihak pengacara pelapor dalam berita soal ada anak yang dibenturkan kemudian ada luka lebam pada bagian perut dan dada, serta seolah pihak pesantren mengabaikan, hingga mengusir anak pelapor, itu semua tidak benar.

"Saya nyatakan itu semua tidak benar. Kami sudah memanggil para terlapor dan mengecek, bahkan kami juga sudah menyumpah mereka. Kami juga melakukan investigasi, mencari saksi dan bukti, tapi kami tidak menemukan bukti maupun saksi yang mengarah pada kekerasan fisik," kata Rifai, Jumat (15/4/2022).

Bahkan, kata dia, pada hari itu juga, hari Jumat di mana kondisinya sedang ramai. Sebab anak-anak sedang persiapan salat Jumat, sehingga jika ada perkelahian pasti akan segera dilerai oleh santri lainnya. Berikutnya, kata dia, sampai sejauh ini pihaknya juga tidak mendapatkan bukti visum yang diklaim bahwa, anak tersebut atau korban mengalami patah tulang rusuk, serta BAB darah akibat pembengkakan usus karena kekerasan fisik. "Kami tidak pernah mendapatkan itu," tegas Rifai.

Pihak pesantren maupun sekolah, lanjut dia, tidak akan mengeluarkan kelima anak tersebut atas permintaan pelapor karena fakta di lapangan memang tidak ada tanda yang mengarah pada kekerasan fisik. Jika pelapor memproses ini secara hukum, pihak pesantren pun akan menghormatinya.

"Silakan saja. Apa yang disampaikan pengacara tersebut tidak benar, seolah-olah pihak pesantren abai bahkan mengusir korban, itu semua tidak benar," katanya.

Sebab, atas kejadian itu, pihaknya sudah melakukan apa yang menjadi standar penanganan anak di pesantrennya. Pihak pesantren pun sudah menghukum para terlapor, tetapi, kata dia, hukuman itu bukan atas dasar mereka melakukan kekerasan fisik. "Hukuman itu kami lakukan karena memang perebutan kamar mandi saja," ungkapnya.

Meski demikian, kata Rifai,  pihak pelapor masih tidak terima dan menginginkan agar para terlapor dikeluarkan dari pesantren. Jelas dan tegas, aku dia, pihak pesantren tidak bisa mengeluarkan mereka karena tidak ada barang bukti maupun saksi yang kuat untuk  bisa mengeluarkan mereka dari pesantren.

Dari awal pun, lanjut Rifai, pihak pesantren selalu kooperatif dan membantu proses agar masalah ini selesai. Bahkan ketika wali santri mengambil jalur hukum pun pihak pesantren menghormatinya. Pihaknya pun tidak diam atau abai atas perkara tersebut, sebab dari awal sudah mencoba berupaya memediasi.

"Bahkan saya pribadi sudah menelpon ibunya untuk mencoba memediasi agar pelapor dan para terlapor ini orang tuanya bisa ketemu. Tapi sekali lagi dimentahkan disampaikan oleh pihak pelapor bahwa ini sudah diserahkan ke pengacara. Ya sudah kami akan menghormati prosesnya," terang Rifai.

Kemudian, kata dia, selama ini pihaknya tidak pernah mengeluarkan secara resmi, baik dari pihak pesantren maupun sekolah terhadap pelapor. Pihaknya hanya menegaskan apa yang sudah menjadi keputusan lembaga, jika tidak terima dan menerima atas keputusannya, maka silakan cari sekolah yang sesuai dengan keinginan pelapor.

Karena, kata dia, pihaknya sudah melakukan prosedur penanganan anak sesuai dengan standar yang dimiliki di pesantrennya. "Untuk itu, kami pihak pesantren dan wali santri terlapor akan menuntut balik atas laporan palsu dan pencemaran nama baik ini. Maka dari itu, kita akan terus melakukan pengawalan terhadap proses hukum yang sedang berjalan ini," tegas Rifai.

Bahkan, lanjut dia, pihaknya  sudah mengecek pelapor ketika pascakejadian, yang dilakukan langsung oleh Direktur Pesantren, Saeful Mukhlisin dan pembimbing kamar untuk mengecek badan anak tersebut. Dan ternyata, menurutnya, tidak ditemukan  luka lebam sedikit pun atau seperti apa yang disampaikan pihak pelapor.

Bahkan pihak pesantren juga mendapatkan saksi bahwa ketika anak pelapor tersebut berada di dalam kamar mandi ingin keluar, karena pintunya terganjal oleh kayu kemudian dibuka oleh anak yang bernama RF kelas XI dan dilihat biasa saja, tidak sempoyongan maupun tanda-tanda kekerasan fisik.

"Jadi ini yang sebenarnya dan perlu disampaikan ke khalayak umum agar semuanya tahu di sisi kami yang sebenarnya dari fakta-fakta di lapangan yang kami temukan tidak ada hal-hal yang mengarah pada kekerasan fisik," kata Rifai.

Diberitakan sebelumnya, diduga melakukan bullying atau kekerasan terhadap anak, empat santri Pondok Pesantren BIMA Dukupuntang, Kabupaten Cirebon dilaporkan polisi. Korban bullying hingga mengalami patah tulang rusuk tersebut bernama KAA  (13 tahun) asal Kabupaten Tegal. Sedangkan keempat santri yang diduga melakukan bullying yakni inisial F (15 tahun), E (15 tahun), R (15 tahun), dan F (15 tahun) yang semuanya merupakan santri senior atau kakak kelas dari korban.

Atas dugaan kekerasan terhadap anak hingga korban di bawa ke RS Mitra Plumbon tersebut, orang tua korban, Afip Sudiono melaporkannya ke Polres Kota Cirebon pada 15 Maret 2022 dengan Surat Tanda Bukti Lapor Nomor : STBL/B/209/III/2022/SPKT/Polresta Cirebon/Jawa Barat.(Ismail)

Editor: Saya Kembali

Tags

Terkini

Terpopuler