Meski bukan Simbol Negara, Hukum Menghina Presiden Haram

- 25 Agustus 2023, 14:34 WIB
Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon, KH Musthofa Aqiel saat memaparkan hasil kajian bahtsul masail kubro kepada awak media.
Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon, KH Musthofa Aqiel saat memaparkan hasil kajian bahtsul masail kubro kepada awak media. /Ismail Kabar Cirebon /

KABARCIREBON - Berdasarkan hasil kajian bahtsul masail kubro oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat (Jabar), presiden dan wakil presiden bukanlah termasuk simbol negara. Meski demikian, ketika menghina keduanya, secara pandangan ilmu fikih hukumnya haram.

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon, KH Musthofa Aqiel saat memaparkan hasil kajian bahtsul masail kubro menjelaskan, term simbol negara dan atau presiden atau wakil presiden sebagai simbol negara tidak ditemukan dalam literatur fikih. Adapun menjadikan presiden dan wakil presiden, baik sosok atau institusinya sebagai simbol negara tidak dapat dibenarkan.

Karena, kata dia, setiap orang atau institusi memiliki hak yang sama di depan hukum, baik di dalam hal hak perlindungan kehormatan, diri, dan menjalankan kewajiban.

Baca Juga: Sudah tak Relevan, LBM PWNU Jabar Usulkan UU Batas Usia Anak Diubah Jadi 15 Tahun

"Menjadikan presiden sebagai simbol negara berpotensi dijadikan alat tirani penguasa dan mencederai kebebasan berpendapat yang dilindungi baik oleh undang-undang dan syariat Islam," ungkap Kiai Musthofa.

Adapun soal bagaimana hukum menghina presiden atau wakil presiden dan hukuman apa yang pantas untuk mereka? Hasil kajiannya, kata dia, tidak diperbolehkan. Bahkan dihukumi haram untuk melakukan penghinaan tersebut.

"Mengucapkan perkataan yang secara uruf dianggap menghina (istihza') dan umpatan (syatmu) kepada sosok presiden atau wakil presiden, hukumnya haram karena berpotensi besar menyakiti (idza') sesama dan dapat menurunkan marwah (kharqul muru’ah wa isqatil hasyamah) presiden dan wakil presiden," katanya. 

Baca Juga: Demi Pelantikan Serentak, Jadwal Pilkada Serentak Tidak Harus Diubah

Kiai Musthofa melanjutkan, jika terdapat kasus demikian, maka bagi pihak berwenang berhak untuk menghukum (ta’zir) sesuai undang-undang yang berlaku. 

Hanya saja, kata dia, hal tersebut tidak menutup celah kritik dan saran bagi masyarakat atas kinerja presiden dan wakil presiden sebagai pejabat publik yang juga memiliki potensi salah dalam mengemban tugas. 

Halaman:

Editor: Fanny Crisna Matahari


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah