Pendidikan Nilai Berbasis Kearifan Lokal

2 Maret 2021, 23:39 WIB
Taruna

Oleh Taruna

Guru SMAN 1 Plumbon

MANUSIA sebagai homo sapiens tidak harus merasa lelah dan  berhenti berinovasi  untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa planet bumi. Di tengah kemajuan tekhnologi, mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi dan krisis yang muncul melahirkan banyak masalah sosial. Fenomenanya adalah semakin kuat tingkat berpikir manusia yang terpotret ke dalam  kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,  semakin kuat pula tantangan yang meluluhkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Genderang yang terdengar ditandai dengan munculnya beragam patologi sosial yang menggejala pada arus peradaban masyarakat. Kartini Kartono menafsir patologi sosial sebagai rangkuman semua tingkah laku yang bertentangan dengan kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Dari kondisi faktual tersebut, salah satu sektor yang kurang diperhatikan  adalah dunia pendidikan afeksi  yang semakin termarjinalkan.

Fenomena Covid 19  semakin mempertajam lemahnya eksistensi pendidikan afeksi bagi seluruh siswa. Mestinya kondisi sekarang ini menjadi kekuatan untuk bisa berdaya lenting agar bisa bangkit dari keterpurukan ini. Oleh karena itu upaya yang harus dibangun adalah mengembalikan fitrah tanggung jawab pelaksanaan pendidikan  sebagaimana diwasiatkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang terkenal dengan konsep Tri Pusat Pendidikan. Proses pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana  bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja dalam hal ini oleh satuan pendidikan, tetapi juga masyarakat dan keluarga sebagai kekuatan yang mendukung tujuan pendidikan yang diharapkan.

Lingkungan keluarga dan masyarakat adalah  faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan nilai. Tri pusat pendidikan pada masa sekarang kemudian dimunculkan dan  diminta pertanggungjawabannya. Pada tataran ini, maka akan lebih bijak manakala satuan pendidikan mau mengintegrasikan pola pendidikan nilai yang berkembang dalam masyarakatnya sebagai model yang  diterapkan  di lingkungan  tersebut. 

Sejatinya bahwa pendidikan nilai pada lingkup masyarakat  menempati posisi yang istimewa. Betapa pentingnya pendidikan nilai  sehingga daya upaya yang dimiliki oleh masyarakat digunakan sepenuhnya. Realita seperti itu merupakan  jawaban  dari keresahan  yang diakibatkan  oleh makin  tidak terbendungnya  arus informasi  dari kemajuan  ilmu, pengetahuan dan teknologi. Kearifan lokal dari setiap  lokus telah lama  mempersiapkan  pola yang sempurna sehingga terus menerus  dilakukan dan dipertahankan.

Transmisi nilai pada persfektif  pemikiran  masyarakat tradisional bukan perkara yang sepele. Argumentasi  yang digunakan  adalah  bahwa nilai itu  sendiri  merupakan daya dorong bagi setiap individu  untuk melakukan tindakan. Baik-buruknya prilaku seseorang  sangat ditentukan oleh  pemahaman dan kesadaran  nilai yang dimilikinya. Jika kemudian kesadaran nilai  tergerus oleh arus  kemajuan  teknologi, maka  akan memunculkan beragam tindakan  yang bisa dikatagorikan  sebagai patologi sosial. Mimpi buruk  seperti itulah  yang lama menghantui  masyarakatnya.

Fenomena keresahan  seperti itu  baru dirasakan oleh sistem  pendidikan  nasional kita tidak lebih dari  satu dasawarsa ke belakang sampai dengan sekarang. Sistem pendidikan nasional  dipandang tidak berdaya dalam mengembangkan asfek afeksi dari  peserta didik. Sehingga dengan demikian  pendidikan formal  menjadi penyumbang terjadinya  penyimpangan sosial. Ironisnya adalah pada sebagian orang  masih bersikukuh  untuk mengukur kualitas pendidikan dengan menggunakan standar yang dimiliki oleh organisasi dari luar negeri. 

Pada tataran ini   yang sebenarnya  perlu diperhatikan adalah  upaya membangun afeksi dari peserta didik. Upaya ini tidak bisa terlepas dari lingkungan budaya masyarakatnya. Jika tidak memperhatikan hal ini, maka nilai-nilai yang harus diwariskan hanya akan menjadi tumpukan jargon yang menempel di spanduk dan tembok sekolah. Budaya masyarakat  harus  menjadi  muatan  dari upaya meningkatkan afeksi peserta didik. Untuk menjadi manusia baik sebagai cita ideal, budaya masyarakat kita  justru telah merumuskannya  sejak lama. Oleh karena itu  kecerdasan dari  kearifan lokal harus menjadi  referensi dalam merumuskan muatan pendidikan nilai di negeri ini.

Belajar dari Masyarakat Trusmi Cirebon

Latar budaya masyarakat Trusmi merupakan lokus  yang tidak bisa terpisahkan  dari  proses  keberlangsungan  pendidikan nilai. Berdasarkan posisi geo-budayanya, budaya masyarakat Trusmi  tidak berbeda dengan  budaya Cirebon pada umumnya. Tetapi yang menarik  dari budaya masyarakat Trusmi adalah  kesetiaaanya  terhadap adat istiadat sebagai warisan dari leluhurnya. Oleh karena itu beragam tindakan  yang mereka sebut  dengan slametan   merupakan wujud  pengakuan terhadap eksistensi budayanya. Mengingkari slametan  sama halnya dengan meruntuhkan jati diri budayanya, karena  di dalam  slametan terdapat  banyak kandungan nilai  yang mengajarkan tingkah laku sesuai dengan cita ideal masyarakatnya.

Keberlangsungan slametan bagi masyarakat Trusmi tidak hanya sekedar untuk memahami nilai yang ada di dalamnya, tetapi lebih dari itu mereka  melakukannya sebagai bakti kepada Mbah Buyut Trusmi. Tokoh ini selalu menjadi orientasi bagi masyarakat Trusmi untuk berbuat melaksanakan  adat tradisi masyarakatnya.  Sikap fanatis ini berperan sebagai pengikat atau kontrol bagi masyarakatnya. Hal ini dilakukan dengan argumentasi bahwa dari tokoh inilah masyarakat Trusmi belajar  dan memeluk agama yang dibawa oleh  Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, segala aktivitas slametan yang dilakukan oleh masyarakat Trusmi tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Keberanekaragaman  slametan  sebagai bentuk  aktivitas  budaya masyarakat Trusmi  dapat digolongkan  menjadi dua bagian besar. Penggolongan ini lebih didasari  oleh ruang lingkup  dan kepentingannya. Ada kelompok slametan  yang dilakukan  pada lingkup keluarga. Selametan oleh keluarga batih di Trusmi ini dilakukan untuk  slametan yang berhubungan  dengan siklus  kehidupan manusia dari pra lahir sampai  meninggal. Beberapa contoh dapat disebutkan seperti ngupati, mitui, nglolosi, mapag dan lainnya. Pada sisi ini kita bisa melihat kesungguhan masyarakat dalam membangun generasi masa depan. Di samping itu pula ada juga slametan  yang dikaitkan  dengan bulan-bulan  yang dianggap penting dalam kalender hijriah, seperti Bulan Muharam, atau Suro, Sapar, Ruwa,  dan Maulud.

Membangun Harmoni

Sementara slametan dalam skala besar dilakukan oleh masyarakat Trusmi  di Kompleks Kramat Buyut Trusmi dengan Jenis ritusnya berupa Memayu dan Buko Sirap. Slametan ini bisa dinamakan pula oleh masyarakatnya dengan sebutan sedekah bumi. Oleh karena itu slametan ini dilakukan dalam rangka membangun harmoni antara manusia dan alam. Harapan utama  dari terselenggaranya  ritus tersebut adalah  memohon kepada Allah untuk diturunkannya hujan.  Kedua bentuk slametan ini  esensinya  bermuara memohon keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Wujud konkritnya adalah berupa  pemberian sodakoh yang dalam konteks slametan masyarakat  Trusmi  dikenal dengan sebutan berkat.

Selain kepatuhan masyarakat Trusmi terhadap adat istiadatnya, hal yang menarik lainnya dari potret budayanya adalah bentuk mata pencaharian Masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat Trusmi bermata pencaharian sebagai perajin batik. Profesi ini menuntut adanya prilaku yang estetis. Sehingga dengan demikian memberikan dampak terhadap prilaku masyarakatnya. Pada tataran seperti ini terjadinya olah rasa yang akan mengantarkan manusianya menjadi tertib, teratur,kreatif dan kaya imajinasi sehingga bisa beretika kepada sesama dalam lingkungan masyarakatnya dengan sikap yang baik.

Kandungan Nilai Pada Ritus Memayu

Prilaku masyarakat Trusmi yang estetis juga  memberikan warna dalam pelaksanaan ritus Memayu. Mereka berhasil mengemas nilai-nilai luhur yang mewujud  dalam tindakannya dalam mengikuti ritus tersebut.  Maka ketika menyelami ritus tersebut akan menjumpai banyak kandungan nilai seperti nilai teologis,nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai fisik dan nilai teleologik. Keberadaan nilai-nilai ini tidak berdiri sendiri tetapi  satu dengan lainnya saling berintegrasi.

Esensi nilai pada ritus Memayu di Kramat Buyut Trusmi dijadikan muatan dalam  pendidikan nilai. Dari proses ini akan tumbuh kesadaran  nilai  bagi kehidupan masyarakat Trusmi. Menuju  pada suatu kesadaran nilai  dibutuhkan bukan  hanya sekedar endapan  konsep yang ada  pada pusat pikir   manusia, tetapi perlu adanya pelakonan nilai. Sehingga dengan demikian akan terjadi penalaran nilai dan atau pengendalian nilai. 

Ritus Memayu yang dilakukan oleh masyarakat Trusmi di Kramat  Buyut Trusmi bukan hanya sekedar rutinitass budayanya, tetapi menyentuh pada pencapaian esensi nilai yang dikandungnya. Artinya ritus ini juga memposisikan sebagai sarana bagi masyarakatnya untuk memahami nilai-nilai luhur yang dikandungnya melalui bentuk pelakonan. Maka dapatlah disimpulkan bahwa semakin baik masyarakat Trusmi melaksanakan ritus Memayu, maka  semakin   baik pula pelakonan nilai. Oleh sebab itu dalam ritus Memayu ini perlu ada manajemen pendidikan nilai yang baik  untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Peran Pranata Sosial di Kramat Buyut Trusmi  yang di dalamnya ada Sep, Kunci, Kyai, Kaum dan dibantu oleh Kemit sangat menentukan  dalam proses  manajemen ritus Memayu. Keterlibatannya dalam merencanakan,  mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi menjadi tanggung jawabnya. Pranata Sosial ini juga dipandang oleh masyarakatnya memiliki kelebihan secara  supranatural. Sehingga dengan demikian  mereka dengan mudah menjalankan kepemimpinannya.

Keistimewaan  nilai yang terkandung  dalam ritus Memayu di Kramat Buyut Trusmi  kemudian dijadikan muatan  dalam proses pewarisan atau transmisi nilai yang dilaksanakan oleh  keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anaknya. Keunikan muatan nilai itu terpapar dalam konsep “Papan Karna Tulis”, artinya nilai-nilai itu tidak ada dalam tulisan tetapi tersimpan dalam kolbu seseorang. Oleh karena itu pada tataran ini ada proses panjang  dalam pembudayaan/enkulturasi yang dilalui  oleh keluarga batih. Upaya pembudayaan ini dilakukan  dengan menggunakan metode, media, sumber dan mengevaluasi  untuk mengetahui hasilnya. Secara garis besar ada dua cara dalam mentransmisikan nilai yang dilakukan oleh masyarakatnya yaitu dengan melaksanakan Culture eksperience atau peran serta yang mewujud pola kegiatan ikut serta  dalam kehidupan  sehari-hari di dalam lingkungan masyarakatnya. Cara berikutnya adalah bimbingan yang mewujud dalam bentuk instruksi, persuasi, rangsangan dan hukuman.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setiap daerah sudah saatnya  bisa dijadikan sebagai  muatan dalam  pelaksanaan  pendidikan nilai. Aspek religius, sosial dan emosional menjadi hal penting sebagai  konten yang harus dimiliki oleh peserta didik di satuan pendidikan.  Transformasi nilai tersebut bisa dilakukan  dengan pola kegiatan rutin di satuan pendidikan, bisa terintegrasi dalam pembelajaran dan  kegiatan yang bersifat protokol yang sudah disepakati bersama dengan beragam teknik sesuai kondisi masing-masing. Semoga***

Editor: Dodi Kabar Cirebon

Terkini

Terpopuler