Oleh Taruna
Guru SMAN 1 Plumbon
MANUSIA sebagai homo sapiens tidak harus merasa lelah dan berhenti berinovasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa planet bumi. Di tengah kemajuan tekhnologi, mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi dan krisis yang muncul melahirkan banyak masalah sosial. Fenomenanya adalah semakin kuat tingkat berpikir manusia yang terpotret ke dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semakin kuat pula tantangan yang meluluhkan nilai-nilai moral dalam masyarakatnya. Genderang yang terdengar ditandai dengan munculnya beragam patologi sosial yang menggejala pada arus peradaban masyarakat. Kartini Kartono menafsir patologi sosial sebagai rangkuman semua tingkah laku yang bertentangan dengan kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. Dari kondisi faktual tersebut, salah satu sektor yang kurang diperhatikan adalah dunia pendidikan afeksi yang semakin termarjinalkan.
Fenomena Covid 19 semakin mempertajam lemahnya eksistensi pendidikan afeksi bagi seluruh siswa. Mestinya kondisi sekarang ini menjadi kekuatan untuk bisa berdaya lenting agar bisa bangkit dari keterpurukan ini. Oleh karena itu upaya yang harus dibangun adalah mengembalikan fitrah tanggung jawab pelaksanaan pendidikan sebagaimana diwasiatkan oleh tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantoro yang terkenal dengan konsep Tri Pusat Pendidikan. Proses pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja dalam hal ini oleh satuan pendidikan, tetapi juga masyarakat dan keluarga sebagai kekuatan yang mendukung tujuan pendidikan yang diharapkan.
Lingkungan keluarga dan masyarakat adalah faktor penting dalam pelaksanaan pendidikan nilai. Tri pusat pendidikan pada masa sekarang kemudian dimunculkan dan diminta pertanggungjawabannya. Pada tataran ini, maka akan lebih bijak manakala satuan pendidikan mau mengintegrasikan pola pendidikan nilai yang berkembang dalam masyarakatnya sebagai model yang diterapkan di lingkungan tersebut.
Sejatinya bahwa pendidikan nilai pada lingkup masyarakat menempati posisi yang istimewa. Betapa pentingnya pendidikan nilai sehingga daya upaya yang dimiliki oleh masyarakat digunakan sepenuhnya. Realita seperti itu merupakan jawaban dari keresahan yang diakibatkan oleh makin tidak terbendungnya arus informasi dari kemajuan ilmu, pengetahuan dan teknologi. Kearifan lokal dari setiap lokus telah lama mempersiapkan pola yang sempurna sehingga terus menerus dilakukan dan dipertahankan.
Transmisi nilai pada persfektif pemikiran masyarakat tradisional bukan perkara yang sepele. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa nilai itu sendiri merupakan daya dorong bagi setiap individu untuk melakukan tindakan. Baik-buruknya prilaku seseorang sangat ditentukan oleh pemahaman dan kesadaran nilai yang dimilikinya. Jika kemudian kesadaran nilai tergerus oleh arus kemajuan teknologi, maka akan memunculkan beragam tindakan yang bisa dikatagorikan sebagai patologi sosial. Mimpi buruk seperti itulah yang lama menghantui masyarakatnya.
Fenomena keresahan seperti itu baru dirasakan oleh sistem pendidikan nasional kita tidak lebih dari satu dasawarsa ke belakang sampai dengan sekarang. Sistem pendidikan nasional dipandang tidak berdaya dalam mengembangkan asfek afeksi dari peserta didik. Sehingga dengan demikian pendidikan formal menjadi penyumbang terjadinya penyimpangan sosial. Ironisnya adalah pada sebagian orang masih bersikukuh untuk mengukur kualitas pendidikan dengan menggunakan standar yang dimiliki oleh organisasi dari luar negeri.
Pada tataran ini yang sebenarnya perlu diperhatikan adalah upaya membangun afeksi dari peserta didik. Upaya ini tidak bisa terlepas dari lingkungan budaya masyarakatnya. Jika tidak memperhatikan hal ini, maka nilai-nilai yang harus diwariskan hanya akan menjadi tumpukan jargon yang menempel di spanduk dan tembok sekolah. Budaya masyarakat harus menjadi muatan dari upaya meningkatkan afeksi peserta didik. Untuk menjadi manusia baik sebagai cita ideal, budaya masyarakat kita justru telah merumuskannya sejak lama. Oleh karena itu kecerdasan dari kearifan lokal harus menjadi referensi dalam merumuskan muatan pendidikan nilai di negeri ini.
Belajar dari Masyarakat Trusmi Cirebon
Latar budaya masyarakat Trusmi merupakan lokus yang tidak bisa terpisahkan dari proses keberlangsungan pendidikan nilai. Berdasarkan posisi geo-budayanya, budaya masyarakat Trusmi tidak berbeda dengan budaya Cirebon pada umumnya. Tetapi yang menarik dari budaya masyarakat Trusmi adalah kesetiaaanya terhadap adat istiadat sebagai warisan dari leluhurnya. Oleh karena itu beragam tindakan yang mereka sebut dengan slametan merupakan wujud pengakuan terhadap eksistensi budayanya. Mengingkari slametan sama halnya dengan meruntuhkan jati diri budayanya, karena di dalam slametan terdapat banyak kandungan nilai yang mengajarkan tingkah laku sesuai dengan cita ideal masyarakatnya.
Keberlangsungan slametan bagi masyarakat Trusmi tidak hanya sekedar untuk memahami nilai yang ada di dalamnya, tetapi lebih dari itu mereka melakukannya sebagai bakti kepada Mbah Buyut Trusmi. Tokoh ini selalu menjadi orientasi bagi masyarakat Trusmi untuk berbuat melaksanakan adat tradisi masyarakatnya. Sikap fanatis ini berperan sebagai pengikat atau kontrol bagi masyarakatnya. Hal ini dilakukan dengan argumentasi bahwa dari tokoh inilah masyarakat Trusmi belajar dan memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, segala aktivitas slametan yang dilakukan oleh masyarakat Trusmi tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Keberanekaragaman slametan sebagai bentuk aktivitas budaya masyarakat Trusmi dapat digolongkan menjadi dua bagian besar. Penggolongan ini lebih didasari oleh ruang lingkup dan kepentingannya. Ada kelompok slametan yang dilakukan pada lingkup keluarga. Selametan oleh keluarga batih di Trusmi ini dilakukan untuk slametan yang berhubungan dengan siklus kehidupan manusia dari pra lahir sampai meninggal. Beberapa contoh dapat disebutkan seperti ngupati, mitui, nglolosi, mapag dan lainnya. Pada sisi ini kita bisa melihat kesungguhan masyarakat dalam membangun generasi masa depan. Di samping itu pula ada juga slametan yang dikaitkan dengan bulan-bulan yang dianggap penting dalam kalender hijriah, seperti Bulan Muharam, atau Suro, Sapar, Ruwa, dan Maulud.
Membangun Harmoni
Sementara slametan dalam skala besar dilakukan oleh masyarakat Trusmi di Kompleks Kramat Buyut Trusmi dengan Jenis ritusnya berupa Memayu dan Buko Sirap. Slametan ini bisa dinamakan pula oleh masyarakatnya dengan sebutan sedekah bumi. Oleh karena itu slametan ini dilakukan dalam rangka membangun harmoni antara manusia dan alam. Harapan utama dari terselenggaranya ritus tersebut adalah memohon kepada Allah untuk diturunkannya hujan. Kedua bentuk slametan ini esensinya bermuara memohon keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Wujud konkritnya adalah berupa pemberian sodakoh yang dalam konteks slametan masyarakat Trusmi dikenal dengan sebutan berkat.
Selain kepatuhan masyarakat Trusmi terhadap adat istiadatnya, hal yang menarik lainnya dari potret budayanya adalah bentuk mata pencaharian Masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat Trusmi bermata pencaharian sebagai perajin batik. Profesi ini menuntut adanya prilaku yang estetis. Sehingga dengan demikian memberikan dampak terhadap prilaku masyarakatnya. Pada tataran seperti ini terjadinya olah rasa yang akan mengantarkan manusianya menjadi tertib, teratur,kreatif dan kaya imajinasi sehingga bisa beretika kepada sesama dalam lingkungan masyarakatnya dengan sikap yang baik.
Kandungan Nilai Pada Ritus Memayu
Prilaku masyarakat Trusmi yang estetis juga memberikan warna dalam pelaksanaan ritus Memayu. Mereka berhasil mengemas nilai-nilai luhur yang mewujud dalam tindakannya dalam mengikuti ritus tersebut. Maka ketika menyelami ritus tersebut akan menjumpai banyak kandungan nilai seperti nilai teologis,nilai etis, nilai estetis, nilai logis, nilai fisik dan nilai teleologik. Keberadaan nilai-nilai ini tidak berdiri sendiri tetapi satu dengan lainnya saling berintegrasi.
Esensi nilai pada ritus Memayu di Kramat Buyut Trusmi dijadikan muatan dalam pendidikan nilai. Dari proses ini akan tumbuh kesadaran nilai bagi kehidupan masyarakat Trusmi. Menuju pada suatu kesadaran nilai dibutuhkan bukan hanya sekedar endapan konsep yang ada pada pusat pikir manusia, tetapi perlu adanya pelakonan nilai. Sehingga dengan demikian akan terjadi penalaran nilai dan atau pengendalian nilai.
Ritus Memayu yang dilakukan oleh masyarakat Trusmi di Kramat Buyut Trusmi bukan hanya sekedar rutinitass budayanya, tetapi menyentuh pada pencapaian esensi nilai yang dikandungnya. Artinya ritus ini juga memposisikan sebagai sarana bagi masyarakatnya untuk memahami nilai-nilai luhur yang dikandungnya melalui bentuk pelakonan. Maka dapatlah disimpulkan bahwa semakin baik masyarakat Trusmi melaksanakan ritus Memayu, maka semakin baik pula pelakonan nilai. Oleh sebab itu dalam ritus Memayu ini perlu ada manajemen pendidikan nilai yang baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Peran Pranata Sosial di Kramat Buyut Trusmi yang di dalamnya ada Sep, Kunci, Kyai, Kaum dan dibantu oleh Kemit sangat menentukan dalam proses manajemen ritus Memayu. Keterlibatannya dalam merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan mengevaluasi menjadi tanggung jawabnya. Pranata Sosial ini juga dipandang oleh masyarakatnya memiliki kelebihan secara supranatural. Sehingga dengan demikian mereka dengan mudah menjalankan kepemimpinannya.
Keistimewaan nilai yang terkandung dalam ritus Memayu di Kramat Buyut Trusmi kemudian dijadikan muatan dalam proses pewarisan atau transmisi nilai yang dilaksanakan oleh keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari ayah,ibu dan anak-anaknya. Keunikan muatan nilai itu terpapar dalam konsep “Papan Karna Tulis”, artinya nilai-nilai itu tidak ada dalam tulisan tetapi tersimpan dalam kolbu seseorang. Oleh karena itu pada tataran ini ada proses panjang dalam pembudayaan/enkulturasi yang dilalui oleh keluarga batih. Upaya pembudayaan ini dilakukan dengan menggunakan metode, media, sumber dan mengevaluasi untuk mengetahui hasilnya. Secara garis besar ada dua cara dalam mentransmisikan nilai yang dilakukan oleh masyarakatnya yaitu dengan melaksanakan Culture eksperience atau peran serta yang mewujud pola kegiatan ikut serta dalam kehidupan sehari-hari di dalam lingkungan masyarakatnya. Cara berikutnya adalah bimbingan yang mewujud dalam bentuk instruksi, persuasi, rangsangan dan hukuman.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setiap daerah sudah saatnya bisa dijadikan sebagai muatan dalam pelaksanaan pendidikan nilai. Aspek religius, sosial dan emosional menjadi hal penting sebagai konten yang harus dimiliki oleh peserta didik di satuan pendidikan. Transformasi nilai tersebut bisa dilakukan dengan pola kegiatan rutin di satuan pendidikan, bisa terintegrasi dalam pembelajaran dan kegiatan yang bersifat protokol yang sudah disepakati bersama dengan beragam teknik sesuai kondisi masing-masing. Semoga***