Rumah Adat Panjalin di Majalengka, Jadi Saksi Bisu Penyebaran Islam & Perang Ki Bagus Rangin Melawan Belanda

19 Januari 2023, 19:06 WIB
Rumah Adat Panjalin di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka menjadi saksi bisu penyebaran Islam zaman Sunan Gunung Djati /Jejep/

KABARCIREBON-Mungkin hanya sebagian warga mengetahui bahwasanya di Kabupaten Majalengka terdapat rumat adat yang memiliki nilai sejarah tinggi. Rumah itu menjadi saksi bisu peninggalan pada masa pemerintahan Sunan Gunung Djati ketika menyebarkan Islam di wilayah Jawa bagian barat.

Rumah itu dikenal dengan nama Rumah Adat Panjalin. Lokasinya terletak di RT 01 RW 05, Blok Rabu Desa Panjalin Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Majalengka.Rumah ini memiliki keunikan tersendiri. Selain merupakan warisan kekayaan budaya, bangunan ini mengandung nilai filosofi sejarah yang besar. Rumah ini diperkirakan dibangun sekitar 500 tahun yang lalu.

Namun hingga saat ini masih tetap berdiri kokoh dan ramai dikunjungi berbagai elemen masyarakat. Baik itu wisatawan, akademisi, mahasiswa dan masyarakat pada umumnya hanyauntuk melakukan penelitian sekedar ingin tahu lebih mendalam.

Baca Juga: Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik : Cegah Kematian Usia Calon Anggota KPPS di Pemilu 2024 Dibatasi

Dari segi bentuk bangunan Rumah Adat Penjalin hampir menyerupai rumah kayu Minahasa Sulawesi Utara. Namun kesamaan itu masih perlu dibuktikan dengan kajian yang ilmiah. Bentuk rumah adat panjalin ini berupa panggung dengan 16 tiang penyangga dari kayu, berukuran 9 x 9 m, dan menempati areal seluas 172 m2.

Ruangan rumah dibagi menjadi dua bagian, yakni ruang depan dan ruang dalam. Kedua bagian itu dibatasi dengan dinding papan kayu dan dilengkapi dengan pintu. Selain pembagian ruang rumah, rumah adat panjalin dilengkapi dengan pintu depan dan ventilasi.

Rumah mempunyai satu pintu depan yang terletak di sisi timur bagian depan rumah dan untuk mencapai pintu digunakan tangga. Dinding rumah bagian depan dibuat dari papan kayu.

Baca Juga: Legenda Situ Sangiang, Pusat Kerajaan Terbesar di Majalengka dan Ikannya Jelmaan Prajurit Talaga Manggung

Lalu, pada bagian atas pintu terdapat hiasan-hiasan geometris. Bagian dalam rumah berdinding bambu dan lantai juga terbuat dari bambu. Atap bengunan rumah berbentuk pelan-pelan dengan penutup atapnya dari genting.

Di dalam bangunan rumah tersebut terdapat tulisan ejaan kuno bertuliskan ejaan kuno, berbunyi "Mutus Karuhun, Pegat Katurunan" yang membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran kalimat tersebut,tertulis bacaan "Munafik" dengan menggunakan ejaan latin.

Bila diartikan dalam bahasa Indonesia kalimat itu menyimpan arti "orang yang menghilangkan peninggalan orang tua dulu, sama dengan orang yang memutuskan kekeluargaan".

Baca Juga: Mengenal Sejarah Kecap Majalengka yang Dulu Viral, Kini Tak Berdaya

Perbuatan itu juga sama dengan perbuatan munafik. Saat ini keberadaan rumah ini dikelolan tercatat sudah empat kali dilakukan renovasi. Tentunya dalam perbaikan dan pemeliharaan itu selalu melibatkan arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Semula berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1950 atap rumah adat panjalin yang menggunakan injuk berubah menjadi genteng. Saat ini pengelolaanya dilakukan BP3 dengan melibatkan Dinas Kebudayaan Parawisata Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kebudayaan Majalengka.

Tapi yang menarik, meski dilakukan rehab hal itu tidak berdampak pada berubahnya fisik bangunan tersebut secara signifikan.Tentunya tujuannya guna menjaga dan melestarikan keberadaan rumah adat.

Baca Juga: Latar Belakang Perusakan Makam Keramat di Majalengka, Diduga Berkaitan Ilmu Hitam dan Pencarian Benda Pusaka

"Rumah adat ini dibangun pada zaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Rumah ini menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Majalengka," kata juru bicara Rumah Adat Panjalin, Iyang Saeful Ikhsan.

Bahkan lanjut dia, bangunan ini berdiri pada akhir abad ke-14. Meski sudah berusia lebih dari 500 tahun, Rumah Adat Panjalin ini masih kokoh. Rumah Adat Panjalin mengambil konsep rumah panggung dengan 16 tiang penyangga di bawahnya yang seluruh bagian rumah ini dibuat menggunakan kayu jati.

"Kalau dibangunnya rumah ini berawal saat Sunan Gunung Jati memerintahkan Syekh Syahroni atau dikenal dengan Pangeran Atas Angin untuk menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa. Misi pertama Pangeran Atas Angin kala itu adalah mengajak penguasa Rajagaluh untuk memeluk agama Islam,"katanya.

Baca Juga: Luar Biasa, Dinkes Majalengka Sabet 4 Penghargaan Bergengsi

Namun ketika menjalankan tugasnya, lanjut dia, Pangeran Atas Angin kemudian bertemu dengan utusan Kerajaan Mataram yakni Nyi Larasati. "Keduanya pun menikah dan memilih tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan pohon rotan. Pangeran Atas Angin kemudian dikaruniai seorang putri bernama Seruni," katanya.

Kemudian setelah tumbuh Seruni bertemu dengan Raden Sanata, kata dia, seorang santri dari Pesantren Pagar Gunung yang juga masih keturunan darah biru dari kerajaan Talaga. Raden Sanata yang terpikat dengan kecantikan Seruni kemudian berusaha untuk meminangnya.

Namun Pangeran Atas Angin memberi suatu syarat kepada Raden Sanata. Raden Sanata diharuskan membabat habis hutan rotan yang begitu luas. Lalu, Raden Sanata akhirnya bisa memenuhi syarat itu, kemudian dibangunlah sebuah rumah panggung. "Rumah panggung itulah yang saat ini menjadi Rumah Adat Panjalin,"tukasnya.

Baca Juga: Bunuh Demokrasi dan Regenerasi di Desa, Mantan Kepala Desa di Majalengka Tolak 9 Tahun Jabatan Kades

Tak hanya itu, sambung dia, Rumah Adat Panjalin ini pun menjadi saksi bisu dari Perang Kedongdong antara pasukan Bagus Rangin dan kolonial Belanda sekitar tahun 1812 hingga 1816.

"Rumah ini dijadikan tempat berlindung pasukan Ki Bagus Rangin. Saat itu gerombolan kolonial Belanda mengejar pasukan Ki Bagus Rangin yang pada akhirnya ia selamat dan melanjutkan perjuangan di tempat lain,"tutupnya.***

 

Editor: Jejep Falahul Alam

Sumber: liputan

Tags

Terkini

Terpopuler