Di dalam bangunan rumah tersebut terdapat tulisan ejaan kuno bertuliskan ejaan kuno, berbunyi "Mutus Karuhun, Pegat Katurunan" yang membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran kalimat tersebut,tertulis bacaan "Munafik" dengan menggunakan ejaan latin.
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia kalimat itu menyimpan arti "orang yang menghilangkan peninggalan orang tua dulu, sama dengan orang yang memutuskan kekeluargaan".
Baca Juga: Mengenal Sejarah Kecap Majalengka yang Dulu Viral, Kini Tak Berdaya
Perbuatan itu juga sama dengan perbuatan munafik. Saat ini keberadaan rumah ini dikelolan tercatat sudah empat kali dilakukan renovasi. Tentunya dalam perbaikan dan pemeliharaan itu selalu melibatkan arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Kabupaten Serang, Provinsi Banten.
Semula berdasarkan catatan sejarah, pada tahun 1950 atap rumah adat panjalin yang menggunakan injuk berubah menjadi genteng. Saat ini pengelolaanya dilakukan BP3 dengan melibatkan Dinas Kebudayaan Parawisata Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kebudayaan Majalengka.
Tapi yang menarik, meski dilakukan rehab hal itu tidak berdampak pada berubahnya fisik bangunan tersebut secara signifikan.Tentunya tujuannya guna menjaga dan melestarikan keberadaan rumah adat.
"Rumah adat ini dibangun pada zaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Rumah ini menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Majalengka," kata juru bicara Rumah Adat Panjalin, Iyang Saeful Ikhsan.
Bahkan lanjut dia, bangunan ini berdiri pada akhir abad ke-14. Meski sudah berusia lebih dari 500 tahun, Rumah Adat Panjalin ini masih kokoh. Rumah Adat Panjalin mengambil konsep rumah panggung dengan 16 tiang penyangga di bawahnya yang seluruh bagian rumah ini dibuat menggunakan kayu jati.
"Kalau dibangunnya rumah ini berawal saat Sunan Gunung Jati memerintahkan Syekh Syahroni atau dikenal dengan Pangeran Atas Angin untuk menyebarkan Islam di wilayah barat pulau Jawa. Misi pertama Pangeran Atas Angin kala itu adalah mengajak penguasa Rajagaluh untuk memeluk agama Islam,"katanya.