Peran dan Kiprah KH Abdul Chalim Majalengka, Pendiri NU dan Pejuang Kemerdekaan RI. Calon Pahlawan Nasional

17 April 2023, 23:55 WIB
Pemkab Majalengka Provinsi Jawa Barat tengah menggelar Seminar Nasional pengusulan calon Pahlawan Nasional KH Abdul Chalim seorang ulama dan pendiri NU asal Majalengka /Jejep/


KABARCIREBON-Pendiri sekaligus Pengasuh Lembaga Pendidikan Islam Unggulan dan Pesantren Amanatul Ummah Surabaya, Pacet, Mojokerto, Provinsi Jawa Timur dan Leuwimunding Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat, Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim MA.

Dia membeberkan peran ayahnya almarhum KH Abdul Chalim saat mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan berjuang dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia.Hal itu ia sampaikan saat mengisi Seminar Nasional.

Temanya "Pemikiran, gerakan dan Perjuangan KH. Abdul Chalim Leuwimunding untuk Kemerdekaan, dalam bidang Keagamaan. Kebangsaan, Pendidikan Ekonomi, dan Politik, yang digelar Pemkab Majalengka belum lama ini.

Baca Juga: Hadirilah.. Pemkab Majalengka Hari Ini Gelar Seminar Nasional Pengusulan Pahlawan Nasional KH Abdul Chalim

Biografi Singkat KH. Abdul Chalim

KH. Abdul Chalim, lahir pada tanggal 2 Juni 1898 di desa Leuwimudning Kabupaten Majalengka, dan wafat pada tanggal 11 Juni 1972 la adalah putra tunggal dari pasangan Kuwu Kedung Wangsagama dengan Nyai Satimah.

Kuwu Kedung Wangsagama adalah putra Buyut Kedung Kartagama Beliau adalah putra Buyut Liuh Sedangkan Buyut Liuh adalah putri Nyal Dati yang bersuamikan seorang Pangeran Kasultanan Cirebon.

Nyai Dati adalah pelanjut Syech Nur Shomad dalam mengembangkan Islamdi wilayah Cirebon dan sekitarnya. Selama berdakwah, Syech Nur Shomad selalu berdampingan dengan para Kyai dan Habaib. Dengan demikian, jika ditarik garis ke atas. Buyut Liuh adalah keturunan Sunan Gunung Jati.

Baca Juga: Batas Desa Kabupaten Kuningan, Cirebon dan Majalengka Dipertegas, Kabag Tapem: Sudah Dilakukan Pelacakan

Wilayah dakwah Sunan Gunung Jati, antara lain meliputi Majalengka, Kuningan, Kawali, Sunda Kelapa dan Banten. Sunan Gunung Jati, yang nama aslinya adalah Syech Syarif Hidayatullah atau Sayyid al- Kamil, adalah punjer silsilah KH. Abdul Chalim. la merupakan satu.

Di antara walisongo, penyebar agama Islam di Nusantara. Syech Syarif Hidayatullah, menggantikan Raden Walangsungsang, yang wafat tahun 1529, dalam usia 106 tahun. Sebagai pelanjut Raden Walangsungsang Syech Syarif Hidayatullah mengendalikan seluruh wilayah Kasultanan Cirebon.

Pada era Syech Syarif Hidayatullah inilah, Cirebon melepasakan diri dari pengaruh Kerajaan Padjajaran. Dengan demikian, agama Islam menjadi semakin kuat dan meluas, sehingga diikuti oleh sebagian besar masyarakat yang berada dalam wilayah Kasultanan Cirebon.

Baca Juga: Tindaklanjuti Usulan Pahlawan Nasional, Dinas Sosial Majalengka Sambangi Putera Almarhum KH Abdul Chalim

Sepeninggal Sunan Gunung Jati, sekitar abad ke-16, penyebaran Islam di wilayah Majalengka, Cirebon dan sekitarnya dilanjutkan oleh Syech Madina atau yang dikenal dengan Buyut Madina, putra Syech Nur Shomad. Syech Nur Shomad merupakan putra dari Syech Sidik Ibrahim yang bergelar Syech Ibrahim Brahmawijaya.

Berdasar jejak historis kewilayahan maupun keagamaan tersebut, dapat dipastikan bahwa wilayah Kabupaten Majalengka, sejak awal, tepatnya mulai abad ke-15 M, telah menjadi basis kekuatan agama Islam yang berfaham Ahl al-Sunnah wa Al-Jama'ah. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kyai besar yang ada di Majalengka.

Antara lain, Kyai Harun Banada di desa Mirat, Syech Sulaiman Alawiyah, asal Leuwimunding yang membangun pesantren Nurul Huda di desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh tahun 1852, KH. Abdul Fattah, mendirikan pesantren Al-Fattah di Desa Trajaya, tahun 1912, dan KH. Abdul Chalim bin Kedung Wangsagama di Leuwimunding.

Baca Juga: Tingkatkan Pelayanan Kesehatan di Majalengka, Bupati Majalengka Luncurkan Program Antar Jenazah Gratis di RSUD

Jika silsilah ke atas KH. Abdul Chalim memiliki garis keturunan dengan Sunan Gunung Jati, maka perlu dijelaskan pula istri dan keturunannya. KH. Abdul Chalim memiliki empat orang istri, yaitu Nyai Mahmudah (istri pertama), Nyai Siti Noor (istri kedua), Nyai Konaah (istri ketiga), dan Nyal Sidik (istri keempat).

Dari istri pertama, KH. Abdul Chalim memiliki tujuh (7) putra/putri, yaitu 1) Hj Chomsatun. 2) Ny. Mafruhat, 3) Hafidz Qawiyun, 4) Ny. Ropikoh, 5) H. Ahmad Mustain, 6) Ny. Nasehah, 7) Drs. H. Didi Mustahad Dari istri kedua, Nyal Siti Noor, memilik seorang putri, yaitu Siti Rahmah Dari istri ketiga, Nyai Konaah, memilik enam (6) orang putra/putri.

Yaitu, 1) Ny. Humaedah, 2) Ny. Muntafiah, 3) Ny. Hj. Hudriyah, 4) H. Mustafid, 5) Ny. Farichah, 6) Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, MA. Sedangkan dari istri keempat, Nyai Sidik, hanya memiliki seorang putri, yaitu Ny. Dewi Halimah.

Baca Juga: Gempa Tuban Terasa di Cirebon, Indramayu, Kuningan dan Majalengka, Dirasakan Pengunjung Mall di Lantai Atas

Rihlah Ilmiah, Spritual dan Kebangsaan KH Abdul Chalim

Kyai Abdul Chalim muda, sejak usia sekitar 10 tahun, sudah nyantri di beberapa pesantren di wilayah Majalengka dan Cirebon. Diantaranya,

1. Pesantren Banada yang diasuh oleh Kyai Harun di desa Mirat Leuwimunding Majalengka Jawa Barat
2. Pesantren Nurul Huda yang didirikan Kyai Sulaiman di desa Pajajar Rajagaluh Majalengka tahun 1852
3. Pesantren Al-Fattah yang didirikan KH. Abdul Fattah tahun 1912
4. Pesantren Kedungwuni di Kadipaten Majalengka Jawa Barat
5. Pesantren Kempek Kabupaten Cirebon Jawa Barat

Sedangkan di wilayah Jawa Timur, KH. Abdul Chalim muda nyantri ke beberapa Kyaikhos. Antara lain dengan,

1. Al-Aalim Al-Allamah Assyaikh Al-Hajj Muhammad Kholil bin Abdul Latif al-Bangkalani, yang dikenal dengan Syaikhona Kholil Bangkalan Madura.

2. KH Hamid Dimyati, di Tremas di Pacitan.

3. KH Asy'ari, pengasuh pesantren Tebuireng di

3. KH. Hasyim Jombang

4. KH. Abdul Wahab Chasbullah, pengasuh Pesantren Tambak.

Baca Juga: REI Komisariat Cirebon Jelang Lebaran 2023 Kembali Berpartisipasi Mendistribusikan 6,3 Ton Bantuan Beras

Beras di Jombang Selain di Jawa Barat dan Jawa Timur, KH. Abdul Chalim juga mengaji dan menimba ilmu secara langsung kepada ulama besar, seperti Syech Abu Abdul Mu'thi dan Syech Nawawi al-Bantani di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah), selama dua tahun, yaitu tahun 1914-1916.

Ketika itulah, ia bertemu dengan KH. Abdul Wahab Chasbullah, yang kemudianmenjadi guru sekaligus partner dalam menggerakkan berbagal organisasi yang didirikan, sekembalinya ke tanah air. Yaitu, Nahdlatul Wathan (1916), Nahdlatuttujjar (1918), dan Taswirul Afkar (1919).

Diberbagai organisasi ini, KH. Abdul Chalim berperan sebagal penggeral yang menjalankan roda oraganisasi, karena kemampuannya dalar menerjemahkan pemikiran KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Hasyi Asy'ari, serta kepiawiannya dalam menata administrasi organisasi.

Rihlah ilmiah, spiritual dan kebangsaan KH. Abdul Chalim mu ke wilayah Jawa Timur ini, diawali dari Leuwimuding, Petalangan, Los Tegal, Comal, Batang, Jombang dan Surabaya. Perjalanan panjang in tempuh selama 14 harl. Hebatnya, selama 14 hari perjalanan terse KH. Abdul Chalim hanya memakan kunir.

Baca Juga: Tersamber Petir, Booster BBM Pertamina di Sumatera Selatan Meledak di Tengah Arus Mudik Lebaran 2023

Mengapa kunir? Disamp mudah didapat, kunir juga mengandung anti biotik alami y menyehatkan dan menguatkan pencernaan. Perjalanan panjang i laukan tidak lepas dari nasehat Syech Sulaiman gurunya, ketika Abdul Chalim muda nyantri di pesantrennya, yaitu pesantren Nurul di desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh Kab. Majalengka.

Nasehat ter berbunyi, "Dul Challm, lamun rek neangan ilmu agama, gaeura in Wetan Tapi lamun rek neang dunya ayena di indit ka Kulon.(Chalim, kalau kamu mau menuntut ilmu, kamu harus pergi ke timur. Tapi kalau mau mencari dunia, ada di sebelah barat).

Beberapa kitab kuning khas pesantren salaf, telah ditelaah habis oleh KH. Abdul Chalim. Seperti kitab Fathul Mu'in, Shahih Bukhari- Muslim, Ihya' Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dan Hikam karya Imam Ibnu Afhaillah Assakandari. Secara khusus, kitab Ihya' inilah yang selalu dibawa kemananpun pergi bersilaturrahim.

Baca Juga: REI Komisariat Cirebon Jelang Lebaran 2023 Kembali Berpartisipasi Mendistribusikan 6,3 Ton Bantuan Beras

Dan kitab ihya' ini pula yang ditelaah sampai akhir hayatnya. KH. Abdul Chalim yang dikenal sebagai mu'assis dan muharrik NU ini wafat pada tanggal 11 Juni 1972, dan dimakamkan disamping tajug yang dijadikan titik awal pengabdian dan perjuangannya untuk agama, nusa dan bangsa.

Peran KH. Abdul Chalim Mendirikan NU

Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 31 Januari 1926, berawal dari respon terhadap kepemimpinan Raja Abdul Aziz bin Saud yang akan menjadikan faham Wahabi sebagai madzhab tunggal. Sementara, Raja adalah penguasa Hijaz, yaitu dua tanah suci Makkah dan Madinah, atau yang disebut dengan Kharamain.

Jika keputusan Raja ini diterapkan, memiliki dampak yang luar biasa terhadap praktik keagamaan, termasuk ibadah haji. Sebab, mayoritas wilayah di luar Hijaz, terutama Indonesia, menganut empat (4) madzhab, yaitu Syafi'l, Maliki, Hanafi dan Hambali.

Baca Juga: Bagi Paket Lebaran, AMPG Kabupaten Cirebon Santuni Anak Yatim dan Dhuafa

Secara ringkas, peran KH. Abdul Chalim dalam pendirian Jami'yyah Nahdlatul Ulama' sebagai berikut :

1. Menerjemahkan pemikiran-pemikiran KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk memfungsikan dan menggerakkan organisasi yang telah dibentuk, yaitu Nahdlatul Wathan, Nahdlatut-Tujjar, dan Taswiru Afkar. Organisasi-organisasi ini adalah embrio berdirinya Jamiyyah Nahdlatul Ulama.

2. Merumuskan isi surat untuk pertemuan khusus ulama'kyai se-Jawa

dan Madura serta mengedarkanya.Isi surat tersebut adalah: a) Merespon keputusan Raja Abdul Aziz bin Saud yang akan memberlakukan satu madzhab (Wahabi).

b) Memasukkan pemikiran pentingnya kemerdekaan Indonesia, c) Membentuk Jamiyyah Ahl al-Sunah wa al-Jama'ah(Jamiyah Para
Ulama Pesantren).

3. Merumuskan dan membentuk Komite Hijaz

4. Mendirikan Jamiyyah Nahdlatul Ulama' dan menyusun struktur kepengurusan NU periode pertama

5. Menjadi komunikator ulama/muassis Diantaranya: yang mencairkan kebekuan antara pemikiran/pandangan.

Baca Juga: Bocoran Preman Pensiun 8 Episode 27, Safira Ancam Putuskan Roy, Kang Murad Jadi Gusar

Perbedaan Pandangan NU

a) Perbedaan antara Kyai Asnawi Kudus dengan Kyai Wahab ketika di Makkah

b) Perbedaan Kyai Mas Alwi dengan Mbah Wahab di Surabaya.

c) Perbedaan Kyai Hasyim dengan Kyai Wahab tentang pentingnya segera mendirikan NU. Karena kepiawaiannya dalam berkomunikasi, KH. Abdul Chalim diberi gelar (laqab) Muslihu Dzatil Bain(yang mendamaikan).

Sedangkan KH. Abdul Wahab Chasbullah diberi julukan (laqab) Baddul Ihtifal (singa podium). Keduanya, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Abdul Chalim Leuwimunding, diberi lagab (julukan) Muharrik al-Afkar(Penggerak Pemikiran).

Menata administrasi Jamiyyah Nahdlatul Ulama,sehingga menjadi tertib dan mendirikan koran Soeara Nahdlatul Ulama, dan menjadi redakturnya pada tahun 1928.

Baca Juga: H-5 Lebaran, Ribuan Pemudik di Jalur Pantura Mulai Padati Ruas Jalanan Cirebon

Peran beberapa lainnya di antaranya tentang pertemuan khusus untuk merespon keputusan Raja Ibn Saud KH. Abdul Chalim diminta oleh KH. Abdul Wahab Chasbulah untuk membuat undangan pertemuan khusus dan sekaligus mengedarkannya kepada ulamakyai se-Jawa dan Madura.

Pertemuan khusus yang diadakan di rumah KH. Abdul Wahab itu dihadiri oleh 65 kyailulama se-Jawa Madura. Undangan ini diedarkan oleh KH. Abdul Chalim dengan menggunakan jaringan Nahdlatul Wathan yang sudah terbentuk sebelumnya.

Di antaranya yang hadir adalah KH. Hasyim Asy'ari (Tebuireng Jombang), KH. Bisri Syamsuri (Denanyar), Ndoro Muntaha (menantu Syaikhona Kholl Bangkalan), KH. Dahlan Abdul Qohar (Kertopaten), Raden Asnawi (Kudus), KH. Alwi Abdul Aziz, KH. Nachrowi (Malang), KH. Abdullah Ubaid (Surabaya), KH. Ridwan (Semarang), KH. Abdul Chalim (Leuwimunding), dan KH. Abdul Faqih (Gresik).

Baca Juga: H-5 Lebaran, Ribuan Pemudik di Jalur Pantura Mulai Padati Ruas Jalanan Cirebon

Pertemuan khusus ini menghasilkan tiga (3) kesepakatan penting. yaitu; 1) pengukuhan dan pembentukan Komite Hijaz sampai batas waktu yang ditentukan, 2) membentuk Jam'iyyah yang mewadahi gerakan para kyal/ulama', dan 3) memutuskan KH. R. Asnawi Kudus sebagai utusan untuk mengikuti pertemuan di Komite Hijaz.

Pemberian nama Jam'iyyah Nahdlatul Ulama' ini, adalah gabungan dari kata "Nahdlah yang sudah ada di Nahdlatul Wathan, berarti "Kebangkitan", dan 'ulama' diambil dan ulama/kyai yang hadir dalam pertemuan khusus tersebut. Nama organisasi yang diusulkan KH. Alwi Abdul Aziz ini pun disepakati.

Baca Juga: Siswa-Siswi SDN 2 Tukmudal Diajarkan Suka Memberi Sejak Dini

Sedangkan kepengurusan NU pada periode pertama ini, struktur Syuriahnya disepakati, sebagai berikut:

Syuriah,Rois Akbar
KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)

Wakil Rois Akbar
Katib Awal
: KH. Dahlan Ahyat (Surabaya) KH. Abdul Wahab Chasbullah
: KH. Abdul Chalim (Leuwimunding) Katib Tsani (Naib Katib)

Setelah struktur kepengurusan Syuriah tersebut tersusun lengkap dengan anggotanya (Awan Syuriah), selanjutnya KH. Abdul Chalimdipercaya untuk melengkapi susunan kepengurusan Musytasyer (Pembina/penasehat), dan membentuk struktur kepengurusan di Tanfidyah(Pelaksana).

Struktur kepengurusan Tanfidliyah diketuai oleh H. Hasan Gipo, H. Sholeh Syamil sebagai wakil ketua, dan Muhammad Shodiq sebagai sekretaris, serta melengkapi kepengurusan lainnya.

Baca Juga: Dokter Asad: Walikota dan Bupati Cirebon Harus Berani Wakafkan Hidupnya Untuk Rakyat

Dipercaya menyusun struktur kepengurusan di organisasi para ulama/kyai pesantren ini, menunjukkan bahwa KH. Abdul Chalim memiliki jaringan ulama'/kyai yang luas. Dengan demikian, ia bisa memilih nama- nama yang tepat dalam kepengurusan. Dalam istilah modern, KH. Abdul Chalim berperan sebagai formatur.

Peran berikutnya yang dilakukan oleh KH. Abdul Chalim adalah merumuskan isi surat yang dikirim ke Raja penguasa Hijaz. Isi pokok surat, sebagai berikut;

1. Memohon kemerdekaan kebebasan bermadzhab empat,
2. Memohon untuk tetap diramaikan tempat-tempat bersejarah di Makkah dan Madinah,
3. Memohon agar disebar luaskan ke seluruh dunia tarif biaya haji,
4. Memohon agar semua hukum yang berlaku di seluruh negeri Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang.
5. Jam'iyah NU memohon balasan surat dari yang Mulia.

Baca Juga: Rupbasan Cirebon Ikuti Penyerahan Zakat Fitrah Kemenkumham kepada Baznas

Peran KH. Abdul Chalim untuk Kemerdekaan Indonesia

KH Abdul Chalim bisa juga disebut sebagai "kodifikator" pemikiran pemikiran utama Nusantara Berkat skill dan keahliannya, is menger bagaimana cara mengabadikan pemikiran para alim ulama pesantren tradisionalis, sehingga bisa dinikmati oleh generasi penerus bangsa.

Misalnya tentang tujuan utama pendirian Komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama, KH Abdul Chalim menulis sebuah percakapannya dengan KH Wahab Hasbullah Dialog disusun dengan bentuk nadham (sya') yang ditulis dengan huruf Arab pegon. Sebagai berikut

Pak Kial apakah ngandung tujuan Jawab, tentu itu nomor satu Saya jawab, gini ini usahanya. Kita untuk menuntut kemerdekaan Umat Islam kita tidak leluasa Sebelumnya negara kita merdeka Beliau ambil kayu api menjawabnya Dinyalakan satu batang dengan bilang Ini bias menghancur bangunan terang Kita jangan tidak boleh putus asa Kita yakin tercapai negara merdeka.

Baca Juga: Keren, UGJ Cirebon Tempati Urutan Ke-25 PTS Terbaik di Indonesia Versi EduRank

Dalam perang memperebutkan kemerdekaan Indonesia, posisi dan peran KH. Abdul Chalim dalam laskar Hizbullah, secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga :

1) Sebagal mentor spiritual, intinya adalah mempertebal jiwa Tauhid Bahiyah dan Rububiyah,
2) Sebagai mentor hikmah, bertugasmempertebal kepercayaan diri dan keberanian dalam menghadapi musuh.
3) Sebagal mentor politik, bertugasmemberikan petunjuk strategis menyangkut taktik pertempuran, agar memperoleh kemenangan.

Di dalam Laskar Hizbullah ini, selain sebagai mentor spiritual, hikmah dan politik, KH. Abdul Chalim sekaligus juga berperan sebagai penasihat dan pendamping KH. Zaenal Arifinyang berperan sebagal komandan.

Baca Juga: BPKH Gelar Diskusi Percepatan Ekosistem Sertifikasi Halal

Peran dalam Politik Kebangsaan

1. Menjadi anggota MPRS yang mendukung partai NU masuk ke dalam pemerintahan Presiden Soekarno yang di didonimasi PKI dan PNI. Sebagai konsekwensinya, NU menerima NASAKOM. Argumentasi yang diajukan KH. Abdul Chalim ketika menyampaikan pendapatnya ini, adalah "Kalau ungkep ya keluar. Ternyata, dalam perkembangannya, justru NASAKOM yang bubar

2. Menjadi delegasi Pemerintah untuk mencari solusi atas pemberontakan DITII di Sulawesi. KH. Abdul Chalim sukses mengemban tugas ini, dengan strategi "mengalahkan lawan tanpa pertumpahan darah".

Artinya, mengedepankan diplomasi dan dialog dengan mengajak pihak Raja Bone sebagai penguasa teritorial kultural untuk melakukan pendekatan kedaerahan. Di samping itu, KH. Abdul Chalim, dengan kharisma keulamaan yang dimiliki, maka ladengan mudah mendapatkan dukungan yang sangat kuat dari masyarakat dan pengikut DI/TII. Sehingga, secara perlahan, kekuatan DITII semakin berkurang dan melemah.

Baca Juga: Banyak Dokter di Indonesia Termasuk Cirebon Terjun ke Dunia Politik, Ternyata Ini Penyebabnya

3. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden Soekarno, atas permintaan Presiden Soekarno, tentang Irian Barat. Setelah melalui istikharah, KH. Abdul Chalim menyampaikan pandangannya, yaitu "pemerintah hendaknya melakukan dua langkah secara simultan; diplomasi dan penyerangan". Presiden Soekarno pun setuju dan melakukan saran ini.

4. Merangkul "lawan tanpa menyakiti". Langkah ini dipraktikkan ketika mengajak para kyai yang terlibat DI/TII di Jawa Barat, agar turun gunung dan kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Langkah inipun sukses. Para kyai tersebut turun dan kembali menjadi bagian dari NKRI.

5. Memberikan keteladanan untuk tetap hidup sederhana, meskipun memiliki banyak fasilitas yang diberikan oleh negara. KH. Abdul Chalim

Bukan seorang "aji mumpung" dalam kehidup politik praktis.

Intinya, selama berkiprah dalam dunia politik praktis dan ber dalam lingkaran kekuasaan, KH. Abdul Chalim tetap menjadi dir sendiri, yaitu pribadi yang sederhana, santun, cerdas dan piawai d berkomunikasi dan diplomasi.

Dalam istilah sekarang, ia adalah yang sangat memperhatikan apa yang disebut dengan "fatsun p sebagai bagian dari etika politik. Hal ini, bukanlah sesuatu yang d buat demi pencitraan.

Melainkan lahir dari pribadi yang tulus mengabdi demi mewujudkankemaslahatan umum (maslahah 'an Bagi KH. Abdul Chalim, politik adalah alat/instrumen (wa Sedangkan goal-nya (ghayah-nya) adalah kemaslahatan umum kesejahteraan masyarakat.***

 

Editor: Jejep Falahul Alam

Sumber: liputan

Tags

Terkini

Terpopuler