Angklung Kuningan Memancanegara, dari Kelas Pengamen Menjadi Kelas Orkestra dan Ini Cara Pembuatannya

13 Maret 2024, 12:19 WIB
Proses pembuatan Angklung di Kabupaten Kuningan. /Ist/KC/

KABARCIREBON - Sampai saat ini sebagian besar masyarakat baik di wilayah Kabupaten Kuningan atau daerah-daerah di Provinsi Jawa Barat dan nasional, mengenal Tokoh Angklung yang melegenda sehingga bisa berkembang ke mancanegara adalah Daeng Soetigna.

Ia merupakan guru dan budayawan di Kuningan di era tahun 1931-1948 tetapi setelah pensiun, memilih hijrah ke Bandung dan meninggal di usia 76 tahun atau tepatnya tanggal 8 April 1984. Tokoh ini merupakan penggagas atau yang merubah Angklung Pentatonis menjadi Diatonis pada tahun 1938.

Akibat adanya perubahan laras tersebut menambah kreasi Angklung hingga mampu membawakan lagu-lagu mancanegara tanpa menghilangkan seni tradisi Angklung itu sendiri. Hal ini mengangkat derajat Angklung dari kelas pengamen menjadi kelas konser atau orkestra.

Baca Juga: Jamparing Kuningan Mengklaim Sudah Tahu Caleg yang akan Menang Sebelum Pemilu, Benarkah?

"Pak Daeng Soetigna lahir tanggal 13 Mei 1908 di Garut tapi menjadi guru sekaligus budayawan di Kuningan. Dialah yang merubah Angklung Pentatonis menjadi Diatonis sehingga bisa terkenal ke mancanegara," ujar praktisi Sanggar Angklung Lumbu Kelurahan Cigugur, Pendi Partawijaya.

Selain tokoh tersebut, sebenarnya ada seorang tokoh lainnya yang sangat berjasa dalam perkembangan Angklung di kota kuda yakni, Pak Kucit (singkatan dari Kuwu Citangtu) dengan nama lengkap H. Muhamad Satari. Ia lahir tanggal 7 September 1904 dan meninggal pun di Kuningan tanggal 9 Desember 1988.

Dirinya dikenal sebagai pengrajin Angklung Diatonis pertama tahun 1938 sekaligus sebagai pelopor pembuat alat musik bambu. Profesinya saat ini adalah pernah menjadi guru, budayawan, camat dan juga kuwu atau kepala desa.

Baca Juga: Harga Sembako Menjadi Perhatian Pemda Kuningan Selama Bulan Ramadan

Macam-macam Angklung di Tatar Sunda pada abad ke-11 termasuk di Kuningan.

Menurutnya, kesenian angklung sudah ada di Tatar Sunda sejak abad ke-11. Biasanya kesenian tersebut ditampilkan sebagai sarana penyemangat ketika warga hendak berperang melawan penjajah dengan laras jenis salendro, pelog dan non laras. Ditambah lagi, sebagai sarana ritual untuk menghibur sekaligus menyenangkan Sri Pohwaci (Dewi Padi) supaya hasil panenan yang melimpah.

Macam angklung di Tatar Sunda terdiri dari Angklung Buncis, Anjarsari, Cireundeu Cigugur Kuningan, Angklung Dogdog Lojor Banten, Angklung Baduy Kanekes, Angklung Gubrag Cigudeg Bogor, Angklung Sered Tasikmalaya, Angklung Bungko Cirebon dan Angklung Badeng Garut.

Bentuk bahan angklung terdiri dari dua, tiga atau empat tabung suara dengan menggunakan bambu hitam (Nama Bahasa Sundanya, Awi Hideung) yang dirangkai pada sebuah kerangka bambu. Sedangkan tangkainya menggunakan bambu surat yang dibelah dan dibulatkan diameternya 6 mm-15 mm atau disesuaikan dengan ukuran Angklungnya.

Baca Juga: Untung Tidak Meledak, Satu Butir Granat Nanas Aktif Ditemukan di Semak-Semak Kebun Desa Susukan Kuningan

Untuk tabung rangka tersebut dari bambu tali dengan diameter 2 cm-6 cm disesuaikan dengan ukuran angklung. Dan tali rotan dipergunakan guna mengikat tangkai angklung dengan penyangga tabung suara. Angklung memiliki jenis berbeda.

Seperti Angklung Natural Satu Oktaf. Jenis ini, umumnya mempunyai dua tabung besar dan kecil, dimana jenjang nada tabung besar ke tabung yang kecil mempunyai jarak nada satu oktaf (indung-anak). Lalu, Angklung Melodi Kecil. Jenis ini mulai dari Nomor 0 bernada fis hingga Nomor 30 bernada C lengkap dengan nada sisipannya. Angklung melodi tersebut, ada yang terbuat dari dua tabung tapi ada juga tiga tabung.

Berikutnya, Angklung Bass. Angklung ini mempunyai nada terendah dalam komposisi angklung unit bernada G sampai nada F dan terakhir adalah Angklung Accomp, Mayor Minor. Angklung jenis ini sebagai pengiring atau Angklung Khord. Jika chord minor, maka jumlah tabungnya tiga buah nada (do-ri-sol). Namun bila chord mayor, jumlah tabungnya tiga nada, (do-mi-sol) namun chord mayor septime tabungnya terdiri dari 4 nada (do-mi-sol-sa).

Baca Juga: Pj Bupati dan Sekda Kuningan Sambut Ramdhan di Masjid Agung Syiarul Islam

Jenis Angklung.

Di Kabupaten Kuningan mempunyai sumber daya alam yang cukup banyak sebagai bahan baku pembuatan angklung tapi bambu yang baik dapat ditemukan di daerah yang panas seperti daerah Kecamatan Luragung, Desa Cikadu Kecamatan Kadugede, Kecamatan Ciniru, Kecamatan Ciawigebang dan Kecamatan Maleber.

Alasannya, meski warna bambunya hitam kecoklatan tapi dari segi penyusutan dan perubahan suara jauh lebih baik dibanding dari daerah yang bersuhu dingin karena bambu sendiri memiliki sifat higroskopis.

"Musim tebangnya harus berpatokan pada iwung tumbuh (bakal bambu) tumbuh tinggi belum berdaun tetapi harus memilih dari tengah rumpun yang lurus ruas panjangnya. Dan waktu penebangannya berkisar di Bulan Maret, April, Mei dan Juni," ujarnya.

Baca Juga: Jika Pejabat dan ASN Tidak Taat Pajak, Pj Bupati Kuningan: Nanti Jadi Urusan Saya

Disinggung proses pembuatan angklung, Pendi Partawijaya yang juga pengrajin menerangkan bahwa setelah penebangan dan pengeringan bambu, dilanjutkan dengan pembuatan tiang dan tabung bambu suara. Baru dirangkai sekaligus diikat dengan tali rotan dan proses akhirnya adalah dipernis.

Sementara itu, pengrajin angklung di Kuningan, ada beberapa orang. Yakni, Pendi, Ahmad, Roni, Sakri, Maman dan Dede. Namun agar keberadaan angklung tidak punah sekaligus regenerasi tetap berjalan dan bisa lestari, maka pembinaan pelatihan pembuatan kesenian tradisional tersebut harus terus dilakukan. (Iyan Irwandi/KC) ***

Dapatkan informasi terbaru dan terpopuler dari Kabar Cirebon di Google News 

Editor: Iyan Irwandi

Tags

Terkini

Terpopuler