370 Anak di Kabupaten Majalengka Ajukan Nikah Dini, Kekerasan Terhadap Bocah di Bawah Umur Meluas

- 2 November 2023, 16:14 WIB
Ratusan peserta dari berbagai organisasi tengah mengikuti diskusi publik membahas kekerasan anak dan perempuan yang digelar ICMI Orda Majalengka di Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, Kamis 2 November 2023. LPAI mencatat per Oktober pengajuan pernikahan dini capai 370 anak.
Ratusan peserta dari berbagai organisasi tengah mengikuti diskusi publik membahas kekerasan anak dan perempuan yang digelar ICMI Orda Majalengka di Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, Kamis 2 November 2023. LPAI mencatat per Oktober pengajuan pernikahan dini capai 370 anak. /Kabar Cirebon/Tati Purwati/

KABARCIREBON - Jumlah pemohon yang mengajukan nikah dini atau di bawah umur di Kabupaten Majalengka masih cukup tinggi walaupun jumlahnya di bawah angka permohonan nikah dini pada saat pandemi beberapa tahun lalu.

Menurut keterangan Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Kabupaten Majalengka Aris Prayuda, angka pemohon dispensasi nikah dini per Oktober tahun 2023 mencapai 370 anak, terdiri dari laki – laki dan perempuan.

“Per Oktober ada sebanyak 370 anak yang mengajukan menikah dini, pada saat pandemi ada sebanyak 447 anak, alasannya beragam. Pada saat pandemi berdasarkan hasil pendataan, ada yang menyebut saat pandemi tidak sekolah, bermain tidak bisa akhirnya memilih menikah,” ungkap Aris saat menjadi pembicara pada acara diskusi publik membehas kekerasan terhadap anak dan perlindungan perempuan yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Orda Majalengka, Kamis 2 November 2023.

Baca Juga: Reses DPRD Kabupaten Cirebon, Warga Minta Penanganan Stunting Dioptimalkan

Untuk mencegah pernikahan di bawah umur, menurut Aris, di antaranya perlunya perlindungan terhadap anak, butuh ruang untuk mengekpresikan diri, berikan suasana yang aman dan nyaman bagi anak.

Sekarang, menurut Aris aksi kekerasan terjadi di banyak tempat, di sekolah, di pesantren dan di lingkungan keluarga. Tempat – tempat tersebut yang seharusnya menjadi tempat berlindung anak malah sebaliknya.

Aksi kekerasan di lingkungan keluarga di antaranya ada anak yang dicabuli oleh pamannya bahkan orang tuanya hingga melahirkan, ada kyai atau ustad yang melakukan aksi kekerasan seksual terhadap santri hingga hamil dan punya anak.

Baca Juga: MEMANAS, Pasca Pilwu di Desa Babakangebang Kab.Cirebon: Kuwu Terpilih di Desa Itu Segera Ganti Pengurus DKM

“Santrinya dipaksa untuk mendirikan pesantren sedangkan anaknya didaftarkan sebagai penerima bantuan sosial. Kekerasan yang dilakukan jadi menumpuk,” kata Aris yang kini melakukan pendampingan untuk anak yang lahir dari hubungan sedarah, keponakan dan paman akibat kekerasan.

Dia mengimbau pada masyarakat untuk tidak menjauhi korban aksi kekerasan, namun sebaliknya berikan perlindungan agar psikisnya tidak semakin terganggu.

Dia pun menyinggung soal adanya kasus pemerasan oleh laki – laki terhadap perempuan di bawah umur yang diawali dari perkenalan melalui media sosial, hingga suatu saat melakukan video call dalam posisi bugil.

Baca Juga: Ini 20 Alamat Pedagang Rawon yang Ngetop di Kota Jakarta Timur, Silakan Coba Rawon Kenangan dan Rawon Olap

Setelah itu, si laki – laki melakukan pemerasan dengan mengeluarkan ancaman, jika permintaannya tidak dipenuhi maka foto telanjang si anak akan disebar ke luar.

Aris mengajak semua pihak untuk peka terhadap kondisi sosial yang ada di lingkungan masing – masing untuk mencegah aksi kekerasan terhadap anak.

Pembicara lainnya Uswatin dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan KB mengatakan, kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan melalui fisik namun juga psikis lewat tekanan jiwa.

Baca Juga: Jabatan Staf Ahli Bupati Kuningan Paling Diburu oleh Pelamar Open Bidding

Namun kaum perempuan jarang bersedia mengungkapkan persoalannya apalagi harus melaporkan secara hukum pidana. Alasanya hal itu sebagai aib, serta banyak perempuan yang tidak berdaya dengan keadaanya.

“Alasanya malu, selain itu sudah punya anak, kasihan anak, jika dipolisikan khawatir semakin dendam serta kalau akhirnya berpisah takut tidak ada yang membiayai hidup karena si perempuan tidak mampu mencari nafkah sendiri, perempuan tidak bisa hidup mandiri,” ungkap Uswatin.

Menurutnya Lembaganya memiliki tempat pengeduan bagi para perempuan yang menerima aksi kekerasan dari suami dan juga pendampingan prikologis bagi anak yang menerima aksi kekerasan.

Baca Juga: 10 Pejabat Open Bidding Kuningan Diujikompetensinya oleh Penguji BKD Provinsi Jawa Timur

Sayangnya jumlah kasus dengan jumlah psikolog tidak sebanding sehingga pendampingan terpaksa harus antri.

“Jumlah kasus tinggi sedangkan psikolog hanya satu orang, jadi kasus menumpuk penanganan antrinya panjang,” kata Uswatin yang mengaku sering mendapat pengaduan masyarakat perihal aksi kekerasan terhadap perempuan, dan hal itu sudah dilaporkan ke Dinas DP3KB.(Tati Purwati/Kabar Cirebon)***

Editor: Muhammad Alif Santosa

Sumber: liputan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah