Tahun – tahun sebelumnya para petani di wilayahnya selalu meraup keuntungan tinggi dari tanaman cabai. Uang dari hasil panen cabai bisa dukumpulkan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga karena nilainya besar.
“Biasanya kalau musim kemarau ke wilayah kami banyak bandar yang datang untuk membeli cabai. Hampir di setiap pekarangan rumah, terdapat tumpukan cabai merah hingga berkarung – karung untuk diambil bandar. Sekarang, boro – boro banyak, satu petani dapat dua karung saja sudah bagus,” kata Juhadi.
Baca Juga: Dianggap Membingungkan, Sistem Antrian Disdukcapil di Kota Cirebon Ini Dikeluhkan Pengurus RW
Cabai dari wilayahnya biasa dikirim ke sejumlah pasar induk Jakarta dan Patrol, sebagian pasar tradisional di Majalengka.
“Sabrangna ge garing teu bisa ngajual (Cabenya kering tidak bisa menjual),” ungkap Jugadi.
Meruginya petani cabai dibenarkan Kepala Desa Sukakerta Edi Junaedi, hal ini terjadi akibat serangan hama dan kekeringan. Cabai rusak digigit tikus, sebagian lagi leyu dan kering. Para petani yang biasanya meraup keuntungan hingga belasan juta rupiah dari hasil panennya kini malah merugi.
“Dari luas tanam 200 bata biasa diperoleh mencapai Rp 15.000.000 sekarang bekas modal tanam saja tidak akan tertutupi. Ada yang hanya memperoleh uang Rp 5.000.000 hingga Rp 6.000.000, itu kan modal juga bisa sampe segitu,” ungkap Edi Junaedi.
Baca Juga: Musim Kemarau Berganti Hujan, Sampah Plastik Numpuk di Saluran Air
Namun walaupun merugi, menurut Edi, petani tidak pernah kapok untuk kembali menanam karena berharap dari tanaman berikutnya bisa untung. Di samping bagi petani di wilayahnya tidak ada pencaharian lain selain bercocok tanam padi, cabai dan semangka.
“Yang bertani semangka juga sekarang sama keuntungannya tidak besar, hanya kalau tanam semangka masih terbilang untung makanya banyak petani yang menyesal tidak memilih tanam semangka di tahun ini,” ungkap Kepala Desa Edi.(Tati Purwati/Kabar Cirebon)***