Inilah Ritual Adat di Kabupaten Majalengka Ngayun atau Nurunkeun Bayi, Ini Maksudnya

- 31 Januari 2024, 16:02 WIB
Bidan desa dan orang tua bayi tengah nyawer pada ritual ngayun atau nurunkeun di Desa Wanasalam, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, Minggu 28 Januari 2024. Warga setempat anak - anak hingga orang dewasa dan lansia ikut berebut saweran di pekarangan rumah bayi.*
Bidan desa dan orang tua bayi tengah nyawer pada ritual ngayun atau nurunkeun di Desa Wanasalam, Kecamatan Ligung, Kabupaten Majalengka, Minggu 28 Januari 2024. Warga setempat anak - anak hingga orang dewasa dan lansia ikut berebut saweran di pekarangan rumah bayi.* /Kabar Cirebon/Foto Tati Purwati/

KABARCIREBON - Salah satu ritual adat yang hingga kini menjadi tradisi di Kabupaten Majalengka adalah ngayun atau nurunkeun bayi.

Ngayun atau nurunkeun adalah ritual setelah lepas tali ari – ari bayi sekaligus pengumuman pemberian nama bayi serta pertama kalinya bayi diperbolehkan ke luar rumah.

Karena sebelum nurunkeun, bayi harus selalu berada di dalam rumah tidak boleh berada di pekarangan apalagi pergi jauh.

Baca Juga: KPU Jawa Barat Targetkan Penghitungan Suara Pileg dan Pilpres Pemilu 2024 Selesai Pukul 19.00 WIB

“Salah satu kewajiban orang tua kepada anak yang baru dilahirkan di antaranya pemberian nama yang yang dianggap baik berdasarkan hitungan Jawa. Sebelum prosesi pemberian nama, ada beberapa prosesi sakral yaitu ngayun. Ini masih dipegang oleh sebagian masyarakat di Kecamatan Ligung," ungkap Munadi yang istrinya baru saja melahirkan dan hajat ngayun.

Menurut Munadi dan orang tuanya Kodijah, ngayun biasanya dilakukan antara 7 hingga 40 hari setelah kelahiran bayi sesuai kesiapan orang tua masing - masing. Namun hampir rata - rata di desanya acara ngayun dan pemberian nama digelar setelah 7 - 10 hari tali pusar bayi lepas.

Prosesi ngayun dilakukan oleh paraji, yaitu orang yang biasa membantu bidan untuk mengurusi ibu hamil hingga melahirkan.

Baca Juga: Ketua IPSI Kabupaten Cirebon Surnita Sandi Wiranata Targetkan Dua Atletnya Meraih Medali Emas di PON 2024 Aceh

"Setelah tali pusar lepas saat itu prosesi ngayun dilakukan," kata Khodijah.

Malah prosesi mengubur ari – ari juga ada ritualnya, yakni ari - ari diwadahi pendil (gerabah) kemudian dibubuhi gula, asam dan garam, baru dikubur.

Setelah itu, kuburannya ditutup ranggap atau penutup ayam, saat malam hari dinyalakan lentera. Orang tua menyebut agar tidak rabun.

Prosesi ngayun sendiri diawali oleh bidan menggendong bayi ke luar tumah sambil membawa biji – bijian, biasanya biji cabai, kacang, atau jenis lainnya.

Baca Juga: Ini 20 Alamat Kedai Soto Langganan Warga Kabupaten Ngawi, Ada Pilihan Soto Cak Genthong dan Soto Bu Pani

Saat bidan keluar pintu diikuti oleh orang tua bayi sambil membawa beras dicampur uang logam dan uang kertas serta permen dan gula.

Begitu ke pekarangan, bidan yang membawa bayi langsung menanam biji tersebut di lahan pearangan atau bisa juga di pot yang telah disiapkan sebelumnya jika pekarangannya sempit.

Penanaman biji sebagai simbol agar kelak setelah desawa bisa bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya.

Baca Juga: Tangkal Hoax, DKIS Gelar Workshop Fundamental Sosial Media Organisasi Pemerintah bersama KIM Kota Cirebon

Usai menanam biji – bijian, bidan kemudian berdiri di hadapan para tetangga yang sudah berkumpul di halaman rumah, untuk mendengarkan pengumuman nama bayu yang digendongnya.

Setelah itu, bidan dan kedua orang tua bayi nyawer dengan beras, logam dan uang kertas serta permen yang diperebutkan para tetangga.

“Prosesi saweran ini simbul berbagi terhadap sesama. Diharapkan kelak saat tumbuh dewasa, akan menjadi manusia yang dermawan , peduli terhadap lingkungan,” kata Daryem paraji di Blok Muara, Desa Wanasalam.

Baca Juga: Belasan Pejabat Diprediksi Bakal Berebut Posisi Kadishub di Open Bidding

Setelah acara saweran selesai, bayi yang digendong bidan diletakan di sebuah ayunan yang terbuat dari kain samping dan talinya menggunakan tambang diikat ke loster pintu. Ayunan ini sudah dihias dengan beragam sesajen.

Sesajen ini diikat dengan benang kasur atau warga setempat menyebutnya benang lawe. Sesajen tersebut berupa bambu kuning, daun beringin, cabai merah, rokok, serutu, uang kertas dan uang logam, kunyit, jaringao, satu plastik makanan ringan berupa opak, rengginang, kue dan lain lain.

Hal ini menandakan sang bayi harus segera bisa beradaptasi dengan lingkungan.

Baca Juga: Kabaharkam Polri Lepas 111 Personel Amankan TPS Luar Negeri

Begitu lahir, semua penjuru rumah juga telah ditempeli daun jaringao yang dipoles apu (kapur), daun beringin dan lidi yang katanya agar terhindar dari ruh jahat.

“Ngayun mah di sini masih terus dlakukan, karena ini kan amanat leluhur. Selama positif tidak perlu di permasalahkan.” katanya Daryem

"Jadi itu yang diikatkan di atas geyongan bayi itu bukan sesajen, namun beberapa benda yang ada di sekitar kita, seperti Bambu Kuning, Pohon Beringin, Daun Salam, Benang, makanan dan yang lainnya itu sebagai bentuk simbul kepedulian sosial saja," ujar Daryem.(Tati Purwati/Kabar Cirebon)***

Editor: Muhammad Alif Santosa

Sumber: liputan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah